Betapa sering kita dipaksa menyaksikan kecurangan para tokoh Salafiyah Mujassimah Musyabbihah yang selalu menghembuskan akidah beracun “Personivikasi Tuhan” di tengah-tengah kaum Muslim dengan mengatas-namakan Salaf Shaleh, padahal jauh antara akidah mereka dan akidah Salaf Shaleh seperti jauhnya timur dan barat!
Ketika ulama Islam mena’wil ayat-ayat mutasyâbhihat yang dengan pandangan awam ayat-ayat/hadis-hadis yang mengesankan Tajsîm dan atau Tasybîh, mereka (Salafiyûn) segera mengecam dengan menuduh bahwa pena’wilan itu adalah Jahmiyah yang akan menggiring kepada pengingkaran sifat Allah SWT. … Tetapi anehnya, mereka tidak “tulus” dalam pengingkaran itu. Sebab terbukti, ketika menghadapi nash shahih yang membom-bardir akidah sesat Tajsîm dan atau Tasybîh, mereka segera membelakangi semua yang selama ini mereka banggakan dan perjuangkan….
Banyak contoh inkonsistensi tokoh-tokoh Mujassimah dalam menyikapi nash-nash yang memojokkan mereka. Ibnu Taimiyah –tokoh Mujassimah yang paling disanjung kaum Salafyyûn Musyabbihûn Mujassimûn- adalah satu di antara tokoh-tokoh yang tanpa malu memamerkan ketidak-setiannya kepada konsep dasar yang di atasnya mereka membangung akidah sesatnya tentang Tauhid fi ash Shifat! Yaitu anti ta’wil!!
Agar Anda tidak berlarut-larut dalam teori, coba perhatikan contoh kasus di bawah ini.
Akidah Kaum Mujassimah Mengatakan Allah Duduk di Atas Arsy-Nya di Langit Sana!
Inilah akidah sentral kebanggaan kaum Salafiyah Mujassimah, yang karenanya mereka tidak segan-segan menvonis kafir siapa saja yang menolaknya! Yang karenanya pula abusalafy dihujat habis-habisan dan dikecam sebagai Jahmi[1] oleh para Misionaris Wahhâbi-Salafy yang hanya pandai membaca kitab-kitab kaum Mujassimah, seperti al Farrâ’ al Hanbali, ad Dârimi, Ibnu Taimiyah, Ibnu Abdil Wahhâb Cs.
Andai Ada yang Menjulurkan Tali Ke Perut Bumi Lapis Tujuh Paling Dalam Pasti Ia Sampai Kepada Allah
Demikian bunyi hadis riwayat Abdur Razzâq dari Ma’mar dari Qatadah, ia berkata:
بينا النبي (ص) جالس مع أصحابه ، إذْ مرت سحاب ، فقال النبي (ص) : أتدرون ما هـذه ؟ هذه العنان ، هذه روايا أهل الأرض يسوقها الله إلى قوم لا يعبدونه ثم قال : أتدرون ما هذه السماء ؟ قالوا : الله ورسوله أعلم . قال : هذه السماء موج مكفوف وسقف محفوظ ، ثم قال : أتدرون ما فوق ذلك ؟ قالوا : الله ورسوله أعلم . قال : فوق ذلك سماء أخرى ، حتى عد سبع سماوات ، ويقـول : أتدرون ما بينها ؟ ثم يقول : ما بينها خمس مائة عام ثم قال : أتدرون ما فوق ذلك ؟ قال : فوق ذلك العرش ، ثم قال : أتدرون ما بينهما ؟ قالوا : الله ورسوله أعلم . قال : بينهما خمسمائة سنة ، ثم قال : أتدرون ما تحت ذلك ؟ قالوا : الله ورسوله أعلم . قال : تحت ذلك أرض أخرى ، ثم قـال : أتدرون كم بينهما ؟ قالوا : الله ورسـوله أعلم ، قال : بينهما مسيرة خمسمائة سنة حتى عد سبع أرضين ، ثم قال : والذي نفسي بيده لو دلى رجل بحبل حتى يبلغ أسفل الأرض السابعة لهبط على الله ، ثم قال : ( هُـوَ الأَوَّلُ وَالآخِـرُ وَالظَّـاهِرُ وَالْبَـاطِـنُ وَهُـوَ بِكُـلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Ketika Nabi saw. duduk bersama para sahabatnya, tiba-tiba lewat awan, maka Nabi saw. bersabda, ‘Tahukan kalian apa ini?’ ini adalah ‘Anân. Ini adalah siraman untuk penghuni bumi, Allah menggiringnya kepada kaum yang tidak menyembah-Nya.’
Kemudian beliau bersabda, ‘Tahukan kalian apa langit itu?’
Mereka berkata, ‘Allah dan rasul-Nya lah yang mengetahui.
Nabi saw. bersabda, ‘Langit ini adalah gelombang yang tertahan dan atap yang terpelihara.’ Kemudian beliau melanjutkan, ‘Tahukah kalian ada apa di atasnya?
Mereka berkata, ‘Allah dan rasul-Nya lah yang mengetahui.
Nabi saw. bersabda, ‘Di atasnya ada langit lain, sehingga lapis tujuh.’
Dan beliau bersabda, ‘Tahukah kalian apa yang ada antara langit-langit itu?’ kemudian beliau bersabda (menjawab sendiri_pen), ‘Di atas masing-masing langit ada jarak lima ratus tahun.’ Kemudian beliau bersabda, ‘Tahukan kalian ada apa di atasnya. Di atasnya terdapat Arsy.’
Kemudian beliau bersabda, ‘Tahukan kalian apa yang ada di antara keduanya?’
Mereka berkata, ‘Allah dan rasul-Nya lah yang mengetahui.’
Beliau saw. bersbda, ‘Antara keduanya jarak selama lima ratus tahun.’
Kemudian beliau bersabda, ‘Tahukah kalian, apa uang ada di bawah itu?’
Mereka berkata, ‘Allah dan rasul-Nya lah yang mengetahui.
Beliau saw. bersabda, ‘Di bawah itu ada bumi lain.’ Kemudin beliau bersabda, ‘Tahukah kalian jarak antara keduanya?’
Mereka berkata, ‘Allah dan rasul-Nya lah yang mengetahui.’
Nabi saw. bersabda, ‘Jarak antara keduanya adalah jarak perjalanan lima ratus tahun.’
Nabi saw. terus menghitungnya hingga bumi lapis ketujuh. Kemudian beliau bersabda, “Demi yang jiwaku di tangan-Nya, andai seorang menjulurkan tali, sehingga ia sampai ke bumi lapis ketujuh, ia pasti turun atas Allah.”
Kemudian beliau membacakan ayat: “Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Lahir dan Yang Batin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al Hadid;3)[2]
Ulama Ahlusunnah Mena’wil Hadis Di Atas
Karena Ahlusunnah berakidah menyucikan Allah dari Tajsîm dan Tasybîh dan itu hanya dapat dibangun di atas pemahaman yang benar tentang nash-nash yang pemahaman awamnya mengesankan keterbatasan Allah SWT. Berbeda dengan kaum Mujassimah Musyabbihah yang hanya pandai menelan mentah-mentah (yang dalam banyak kali juga hadis palsu mereka juga telan) tanpa melibatkan dan bahkan mengabaikan bimbingan akal sehat anugerah Allah SWT yang membedakan manusia dari hewan ciptaan-Nya, maka tidaklah heran jika akibatnya mereka terjebak dalam faham Tajsîm dan Tasybîh yang menyimpang dan menggelikan!
Imam at Turmudzi misalnya, menegaskan bahwa para ulama/ahli ilmi telah mena’wilkannya dengan makna yang masuk akal sehat dan tidak meniscayakan pembatasan Allah dalam ruang. Ia berkata:
.
وفسر بعض أهل العلم هذا الحديث فقالوا : إنما هبط على علم الله وقدرته وسلطانه ، علم الله وقدرتـه وسلطانـه في كـل مكـان ، وهـو على العرش كما وصف في كتابهa .
“Sebagian ulama mena’wilkan hadis ini, mereka berkata, ‘Sesungguhnya ia turun atas ilmu Allah, kekuasaan dan kerajaan-Nya. Ilmu, dan kekuasaan dan kerajaan-Nya ada di seluruh tempat. Dan Dia di atas Arsy seperti yang Dia sifati sendiri dalam kitab-Nya.”[3]
Aneh, Ibnu Taimiyah Ikut-ikutan Menta’wil!
Yang aneh di sini ialah bahwa Ibnu Taimiyah (dan tentunya kaum Mujassimah lainnya) ikut-ikutan mena’wilkan hadis di atas… bukankah kata mereka kita wajib memaknai nash secara lahiriyah?! Mengapa sekarang mendadak jadi mau mena’wil nash/hadis?
Anda pasti faham mengapa mereka terpaksa mau tunduk dengan tuntutan akal sehat yang mengharuskan mena’wil nash dengan makna yang sesuai dengan kemaha sucian Allah dari menyerupai makhluk-Nya? Mengapa mereka mau menggunakan akal sehatnya dalam kasus ini?
Mengapa? Sebab, jika tidak, pasti hancurlah akidah menyimpang yang selama ini dijadikan pijakan dan dasar membangun Akidah Islamiyah versi Salaf yang penuh dengan penyimpangan!
Ibnu Taimiyah berkata:
.
… كما في الحديث > لو أدلى أحدكم دلوه لهبط على الله < ومن المعلوم أن إدلاء شيء إلى تلك الناحية ممتنع فهبوط شيء على الله ممتنع فكون الله تحت شيء ممتنع وإنما الغرض بهذا التقدير الممتنع بيان إحاطته من جميع الجهات وهذا توكيد لكونه فوق السموات على العرش لا مناف لذلك .
“Seprti dalam hadis “andai seorang menjulurkan tali, pasti ia turun atas Allah.” Dan seperti telah diketahui bahwa menjulurkan sesuatu ke sisi itu adalah mustahil, maka turunnya sesuatu kepada Allah juga mustahil. Dan adanya Allah di bawah sesuatu itu juga mustahil. Akan tetapi tujuan dari pengira-ngiraan itu yang mustahil itu adalah penjelasan akan Kemaha meliputinya Allah terhadap segala sisi. Dan ini adalah penguat bahwa Dia di atas langit di atas Arsy, bukan menyalahinya.”[4]
.
Abu Salafy:
Tuan Ibnu Taimiyah yang terhormat, mengapa kamu berpaling dari dzahir teks hadis shahih di atas dan mena’wilkannya dengan adalah penjelasan akan Kemaha meliputinya Allah terhadap segala sisi? Mengapa kini Anda berubah menjadi ahli ta’wil dadakan?! Sedangkan selama ini Anda anti dan mengecam ta’wil!!
Mengapakah untuk teks-teks lainnya, yang juga butuh dita’wil agar tidak memberikan kesimpulan tajsîm dan tasybîh Anda artikan dengan muqtadha dzahir badawi, dengan mencampkan sisi-sisi majazi yang menjadi ciri keindahan dan keluasaan bahasa Arab; bahasa Al Qur’an?
Apakah teks hadis kurang jelas menunjukkan bahwa Allah SWT itu akan ditemui di bawah lapis bumi ketujuh?
Kemudian bagaimana Anda Pak Ibnu Taimiyah memutar balikkan kenyataan dengan tanpa dasar dan tanpa memberikan penjelasan bahwa hadis itu justeru menguatkan anggapan bahwa Allah itu di langit?! Subhanallah. Begitukah cara Anda memperkosa teks hadis?!
Tetapi Anda jangan terburu terheran-heran dengan sikap plin-plan seperti itu dari seorang mujassim seperti Ibnu Taimiyah dan rekan-rekan Mujassimîunnya! Itu adalah gaya lama setiap pembatil jika hendak menjajakan dagangan pemikirannya!
Semoga Allah berkenan memberi taufiq kita untuk bertemu kembali dalam seri kepalsuan Ibnu Taimiyah dan kaum Mujassimûn. Âmîn Ya Rabbal ‘ Âlamîn.
[1] Kami benar-benar bangga ketika kami disebut sebagai jahmi, sebab memang demikian kebiasaan kaum Mujassimah Musyabbihah, seperti Ibnu Taimiyah menyebut para ulama Ahlusunnah. Fakhruddîn ar Razi juga dikecam habis oleh Ibnu Taimiyah dengan sebutan Jahmi lantaran beliau membongkar kesesatan akidah Tajsîm dan tasybîh yang meracuni sebagian pikiran sakit dalam kitab beliau Asâs at Taqdis, yang segera dibantah Ibnu Taimiyah dengan kitabnya Bayân Talbîs al jahmiyah. Jadi hendaknya kita memahami siapa sebenarnya Jahmiyah itu dalam pikiran kaum Salafi Mujassim Musyabbih!
[2] Tafsir ash Shan’âni,2/229. Terbitan Maktabah ar Rusyd. Riyâdh. AS (Arab Saudi). Baca juga kitab al Asmâ’ wa ash Shifât:503-504. Dâr al Kotob al Ilmiah. Beirut.
[3] Sunan at Turmudzi,5/337 komentar atas hadis. 3298.
[4] Bayân Tadlîs al jahmiyah,2/225.
Filed under: Akidah Tajsim & Tasybih, Aqidah, Fatwa Jenaka Wahabi, Fitnah Ibnu Taimiyah, Kajian Hadis, Kenaifan Kaum Wahhabi, Manhaj, Mengenal Pemimpin Wahabi, Menjawab Blog Wahabi/Salafy, Seri Kepalsuan Ibnu Taimyah, Wahhabi Versus Ulama Islam
« Benarkan Kaum Musyik Arab Beriman Kepada Tauhid Rububiyyah Allah? Bantahan Untuk Ustad Firanda (I)