Menurut hadis-hadis yang paling sahih dalam koleksi kitab hadis sunni dan
Syi’ah, Ahlulbait (orang-orang anggota keluarga) Nabi adalah sa1ah satu simbol Islam
yang paling berharga setelah kepergian Nabi Muhammad SAW. Terdapat banyak hadis
dalam koleksi kitab hadis di kedua mazhab yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad
SAW telah mengingatkan kita untuk berpegang erat kedua perkara yang berat (ats-
Tsalaqalain), yakni Quran dan Ahlulbait, agar tidak tersesat setelah tiadanya beliau.
Rasulullah SAW juga telah mengabarkan kepada kita bahwa kedua perkara berharga itu
tidak akan berpisah dan selalu akan bersama hingga Hari Perhitungan. Hal ini
mengharuskan kita bahwa dalam memahami penafsiran Quran dan Sunnah Nabi
Muhammad SAW, kita mesti merujuk kepada orang-orang yang telah dilekatkan
kepadanya, yakni Ahlulbait.
Mengetahui siapakah sesungguhnya Ahlulbait, karena itu, menjadi sesuatu yang
sangat vital ketika orang meyakini hadis Nabi di atas maupun hadis-hadis lainnva yang
dengan tegas menyatakan bahwa mengikatkan diri kepada Ahlulbait adalah satu-satunya
jalan keselamatan. Hal ini dengan jelas memberikan implikasi bahwa seseorang yang
mengikuti Ahlulbait yang ‘bukan sebenarnya’ akan tersesat.
Dalam menimbang secara kritis dan pentingnya masalah ini, tidak mengherankan
jika terdapat perbedaan pandangan antara Syi’ah dan Sunni. Dalam kenyataannya, Sunni
tidak memiliki suara yang satu dalam mencirikan Ahlulbait Nabi. Kebanyakan Sunni
berpendapat bahwa Ahlulbait Nabi Muhammad SAW adalah Fathimah Zahra binti
Muhammad SAW; Ali bin Abi Thalib, Hasan bin Ali bin Abi Thalib, Husain bin Ali bin
Abi Thalib, dan istri-istri Nabi Muhammad SAW.
Kelompok Sunni yang lain lebih jauh bahkan memasukkan semua keturunan Nabi
Muhammad SAW ke dalam daftar tersebut!
Kelompok Sunni lainnya malah begitu murah hati dan menyertakan semua
keturunan Abbas (Abbasiah) maupun keturunan Agil dan Ja’far (keduanya saudara Ali
bin Abi Thalib) ke dalam daftar di atas. Namun, mesti dicatat bahwa terdapat ulama-
ulama Sunni terkemuka yang tidak memasukkan istri-istri Nabi Muhammad SAW ke
dalam Ahlulbait Nabi Muhammad SAW. Hal ini bersesuaian dengan pandangan Syi’ah.
Bagi Syi’ah, Ahlulbait Nabi Muhammad SAW hanya terdiri atas individu-
individu berikut ini: Fathimah Zahra, Ali, Hasan, Husain, dan sembilan orang Imam
keturunan Husain. Dan jika dimasukkan Nabi Muhammad SAW ke dalamnya, mereka
akan menjadi empat belas orang. Tentu saja, pada masa hidup Nabi Muhammad SAW
hanya lima orang dari mereka yang hidup, dan sisanya belumlah lahir. Lebih jauh Syi’ah
menegaskan bahwa ke-14 orang ini dilindungi Allah dari segala noda, dan karenanya
layak untuk diikuti di samping Quran (simbol yang berat lainnya), dan hanyalah mereka
yang memiliki pengetahuan sang sempurna tentang penjelasan (tafsir) ayat-ayat Quran.
Dalam diskusi ini, kami akan menjelaskan mengapa Syi ah mengeluarkan istri-
istri Nabi Muhammad SAW dari Ahlulbait, dan juga kami akan mendiskusikan secara
ringkas mengapa Ahlulbait terlindungi (maksum). Kami akan mendasarkan pembuktian
kami atas: Quran, hadis-hadis dari koleksi kitab-kitab hadis sahih Sunni, dan kejadian-
kejadian sejarah.
Bukti dari Quran
Kitab suci Quran menyebutkan Ahlulbait dan keutamaan khusus mereka dalam
ayat berikut ini yang dikenal sebagai ‘Ayat Penyucian’ Sesungguhnya Allah bermaksud
hendak menghilangkan segala kekotoran (rijs) dari kamu, wahai Ahlulbait dan
mensucikanmu sesuci-sucinya. (QS. al-Ahzab: 33)
Perhatikanlah bahwa kata ‘rijs’ dalam ayat di atas mendapatkan awalan al- yang
membuat makna kata tersebut menjadi umum/universal. Jadi ‘ar-Rijs’ bermakna setiap
jenis ketidak murnian/kekotoran. Juga, dalam kalimat terakhir ayat di atas, Allah
menegaskan ‘dan mensucikanmu sesuci-sucinya’. Kata ‘sesuci-sucinya’ merupakan
makna penegasan dari masdar ‘tathhiran’. Inilah satu-satunya ayat dalam Quran di mana
Allah SWT menggunakan penekanan ‘sesuci-sucinya’.
Menurut ayat di atas, Allah SWT mengungkapkan kehendaknya untuk menjaga
agar Ahlulbait tetap suci dan tanpa noda/dosa, dan apa yang dikehendaki Allah SWT
pasti terjadi, sebagaimana yang ditegaskan oleh Quran, Sesungguhnya perkataan Kami
terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, hanya mengatakan ‘Kun (jadilah),’
maka jadilah ia. (QS. an-Nahl : 40)
Memang benar, manusia bisa saja tidak punya dosa, sebab dia tidak dipaksa untuk
melakukan dosa. Adalah pilihan manusia untuk menerima perintah Allah SWT dan
mendapatkan pertolongan-Nya dalam menghindar atau untuk mengabaikan perintah
Allah dan melakukan dosa. Allah adalah Penasehat, Pemberi kabar gembira dan Pemberi
peringatan. yang tanpa dosa, tidak diragukan lagi, adalah tetap manusia. orang meyakini
bahwa untuk menjadi manusia, orang mesti memiliki kesalahan. Pendapat semacam ini
tidak memiliki dasar sama sekali. Yang benar adalah bahwa manusia dapat berbuat dosa,
tetapi dia tidak diharuskan untuk melakukannya.
Adalah merupakan Kelembutan Allah SWT bahwa Dia menarik hamba-hamba-
Nya menuju Dia, tanpa memaksa mereka sama sekali. Inilah pilihan kita untuk mengejar
tarikan tersebut dan menahan diri dari berbuat kesalahan, atau berpaling dan melakukan
kesalahan. Bagaimanapun, Allah SWT telah menjamin untuk menunjukkan jalan lurus’
dan memberikan kehidupan yang suci kepada mereka yang mencarinya.
Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun
perempuan, dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya Kami akan
memberikan kepadanya kehidupan yang suci (thayyibah) .(QS. an-Nahl :
97)
Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan
menunjukkan baginya jalan keluar. (QS. at-Thalaq : 2)
Bermanfaat kiranya untuk disebutkan bahwa ayat al-Ahzab 33, yang berkaitan
dengan pensucian Ahlulbait, telah diletakkan di tengah-tengah ayat yang berkenaan
dengan istri-istri Nabi Muhammad SAW, dan inilah yang menjadi alasan utama
beberapa orang Sunni yang memasukkan istri-istri Nabi Muhammad SAW ke dalam
Ahlulbait. Namun, kalimat yang berhubungan dengan Ahlulbait (QS. al-Ahzab : 33)
berbeda dengan kalimat-kalimat sebelumnya dan sesudahnya dengan perbedaan yang
amat jelas. Kalimat-kalimat sebelum dan sesudahnya menggunakan hanya kata ganti
perempuan, yang secara jelas ditujukan kepada istri-istri Nabi Muhammad SAW.
Sebaliknya, kalimat di atas menggunakan hanya kata ganti laki-laki, yang dengan jelas
menunjukkan bahwa Quran mengalihkan objek individu-individu yang dirujukinya.
Orang yang akrab dengan Quran pada tingkat tertentu, mengetahui bahwa
pergantian Rujukan yang tajam semacam itu bukanlah hal yang aneh, dan ini telah terjadi
pada berbagai tempat dalam Quran, Wahai Yusuf Berpalinglah dari ini dan mohon
ampunlah (hai istriku) atas dosamu itu, karena kamu (istriku) termasuk orang-orang
yang berbuat salah! (QS.Yusuf : 29).
Dalam ayat di atas, ‘Hai istriku’ tidak disebutkan dan Rujukan kepada Yusuf
tampak tetap berlanjut. Namun, pergantian Rujukan dari laki-laki kepada perempuan
dengan jelas menunjukkan bahwa kalimat yang kedua ditujukan kepada istri Aziz, dan
bukan kepada Nabi Yusuf as. Perhatikan bahwa kedua kalimat itu berada dalam satu
ayat! Catat juga bahwa pergantian Rujukan dari istri Aziz kepada Yusuf, dan kemudian
sekali lagi berganti kepada istri Aziz jalam ayat-ayat sebelum ayat 29 adalah juga dalam
satu kalimat.
Dalam bahasa Arab, ketika sekelompok perempuan adalah yang dituju, maka
digunakan kata ganti perempuan. Namun, jika ada satu laki-laki di antara mereka, maka
digunakan kata ganti laki-laki. Jadi, kalimat Quran di atas dengan jelas menunjukkan
bahwa Allah menunjukannya kepada sekelompok orang yang berbeda dari istri-istri Nabi
Muhammad SAW, sebab menggunakan kata ganti laki-laki, dan bahwa kelompok
tersebut mengandung perempuan.
Jika hanya menyandarkan pada al-Ahzab 33, kita tidak dapat disimpulkan bahwa
istri-istri Nabi Muhammad SAW tidak termasuk dalam Ahlulbait. Hal ini dapat
dibuktikan lebih lanjut dengan hadis–hadis sahih Sunni dari koleksi Shihah as-Sittah
yang menyebutkan tentang siapakan Ahlulbait, dan juga melalui pembandingan antara
spesifikasi Ahlulbait yang diberikan oleh Quran dengan kelakuan dari beberapa isteri
Nabi Muhammad SAW yang disebutkan dalam Shihah as-Sittah, untuk membuktikan hal
yang sebaliknya (bahwa istri-istri Nabi Muhammad SAW tidak termasuk ke dalam
Ahlulbait).
Apa yang dapat dipahami dari hanya Surah al-Ahzab ayat 33 adalah bahwa Allah
SWT mengalihkan Rujukan pembicaraannya (yang adalah istri- isteri Nabi Muhammad
SAW secara eksklusif pada permulaan ayat) kepada beberapa orang yang termasuk
dalamnya perempuan, dan bisa jadi atau tidak bisa jadi termasuk istri-istri Nabi
Muhammad SAW.
Hadis Sahih
Adalah menarik untuk melihat bahwa baik Shahih Muslim dan Shahih Tirmidzi
maupun yang lainnya, menegaskan pandangan Syi’ah yang telah di atas. Dalam Shahih
Muslim, terdapat sebuah bab yang diberi nama ‘Bab Tentang Keutamaan Sahabat’.
Dalam bab ini, terdapat satu bagian yang dinamakan ‘Bagian Tentang Keutamaan
Ahlulbait Nabi. Dalamnya hanya terdapat satu hadis, dan hadis tersebut tidak ada
hubungannya dengan istri-istri Nabi Muhammad SAW. Hadis ini dikenal sebagai hadis
tentang mantel (Hadis al-Kisa), dan berbunyi sebagai berikut:
Aisyah menceritakan, “Suatu hari Nabi Muhammad SAW keluar sore-sore
dengan mengenakan mantel hitam (kain panjang), kemudian Hasan bin Ali datang dan
Nabi menampungnya dalam mantel, lalu Hasan datang dan masuk ke dalam mantel, lalu
Fathimah datang dan Nabi memasukkannya ke dalam mantel, lalu Ali datang dan Nabi
memasukkannya juga ke dalam mantel. Kemudian Nabi berucap, ‘Sesungguhnnya Allah
bermaksud hendak menghilangkan segala kekotoran (najis) dari kamu, wahai Ahlulbait
dan mensucikanmu sesuci – sucinya (kalimat terakhir dari QS. al-Ahzab : 33).19]
Orang dapat melihat bahwa penyusun Shahih Muslim menegaskan bahwa :
Pertama, Ali, Fathimah, Hasan dan Husain adalah termasuk Ahlulbait. Ke dua, kalimat
pensucian dalam Quran (kalimat terakhir QS. al-Ahzab : 33) diturunkan bagi keutamaan
orang-orang yang disebutkan di atas, dan bukan untuk istri-istri Nabi Muhammad SAW.
Muslim (penyusun kitab tersebut) tidak menuliskan satu pun hadis lain dalam
bagian ini (bagian tentang keutamaan Ahlulbait). Jika saja penyusun Shahih Muslim
meyakini bahwa istri-istri Nabi Muhammad SAW adalah dalam Ahlulbait, dia tentu
sudah mengutipkan hadis-hadis tentang mereka dalam bagian ini.
Adalah menarik melihat bahwa Aisyah, salah seorang istri Nabi Muhammad
SAW, adalah perawi dari hadis di atas, dan dia sendiri menegaskan bahwa Ahlulbait
adalah orang-orang yang telah disebutkan di atas.
Salah satu versi lain dari ‘hadis mantel’ tertulis dalam Shahih Tirmidzi, yang
diriwayatkan oleh Umar bin Abi Salamah, putra dari Ummu Salamah (istri Nabi yang
lain), yang berbunyi sebagai berikut:
Ayat ‘Sesungguhnya Allah bermaksud hendak...(QS. al-Ahzab : 33) diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW dalam rumah Ummu Salamah. Sehubungan dengan hal
itu, Nabi mengumpulkan Fathimah, Hasan, Husain, dan menutupi mereka dengan sebuah
mantel (kisa), dan beliau juga menutupi Ali yang berada di belakang beliau. Kemudian
Nabi berseru, “Ya, Allah! Inilah Ahlulbait-ku! Jauhkan mereka dari setiap kekotoran, dan
sucikanlah mereka sesuci-sucinya!’ Ummu Salamah (istri Nabi) menanyakan, “Apakah
aku termasuk ke dalam kelompok mereka wahai Rasulullah?” Nabi menjawab, “Kamu
tetap di tempatmu dan kamu menuju akhir yang baik.20
Terlihat bahwa Tirmidzi juga menegaskan bahwa Ali, Fathimah, Hasan, dan
Husain adalah Ahlulbait, dan kalimat pensucian dalam Quran (kalimat terakhir dari al-
Ahzab ayat 33) diturunkan untuk keutamaan orang-orang tersebut, dan bukan untuk istri-
istri Nabi Muhammad SAW. Tampak juga dari hadis sahih di atas bahwa Nabi sendiri
yang mengeluarkan isteri beliau dari Ahlulbait. Jika Ummu Salamah adalah termasuk
dalam kelompok Ahlulbait, mengapa beliau SAW tidak menjawabnya secara positif?
Mengapa beliau tidak memasukkannya ke dalam mantel? Mengapa Nabi Muhammad
SAW menyuruh dia untuk tetap di tempatnya? Jika saja Nabi Muhammad SAW
memasukkan Ummu Salamah ke dalam kelompok Alhubait, beliau tentu sudah
memasukkannya ke dalam mantel dan akan segera berdo’a untuk kesuciannya.
Perlu juga disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak mengatakan, “Inilah
sebagian di antara Ahlulbaitku!’ Alih-alih, beliau berkata, inilah Ahlulbaitku!” Sebab
tidak ada anggota lain Ahlulbait yang hidup, pada masa Nabi Muhammad SAW.
Perhatikan juga bahwa Ummu Salamah, isteri Nabi yang saleh, adalah perawi dari hadis
ini kepada anaknya dan memberikan pernyataan tentang siapakah Ahlulbait itu!
Dalam hadis Hakim, bunyi pertanyaan dan jawabnya dalam kalimat terakhir dari
hadis ini adalah:
Umma Salamah berkata, “Ya Nabi Allah! Tidakkah aku termasuk salah seorang
anggota keluargamu?” Nabi Suci menjawab, “Kamu memiliki masa depan yang baik
(tetap berada dalam kebaikan), tetapi hanya inilah anggota keluargaku. Ya Rabbi,
anggota keluargaku lebih berhak!”21
Dan bunyi kalimat yang dilaporkan oleh Suyuthi dan Ibnu Atsir adalah sebagai
berikut. Ummu Salamah berkata kepada Nabi Suci SAW, Apakah aku termasuk juga
salah seorang dari mereka?” Nabi Muhammad SAW menjawab, “Tidak, kamu
mempunyai kedudukan khususmu sendiri dan masa depanmu adalah baik.
Thabari juga mengutip Ummu Salamah yang mengatakan bahwa dia berkata,
“Ya, Nabi Allah” Tidakkah aku termasuk juga salah seorang Ahlulbaitmu? Aku
bersumpah demi Yang Maha Besar bahwa Nabi Suci tidak menjaminku dengan
keistimewaan apapun kecuali bersabda Kamu memiliki masa depan baik.
Inilah variasi sahih lainnya tentang Hadis Mantel yang dinisbahkan kepada
Shafiyah, yang juga salah seorang istri Nabi Muhammad SAW. Ja’far bin Abi Thalib
meriwayatkan:
Pada waktu Rasulullah merasa bahwa rahmat dari Allah akan turun, beliau
menyuruh Shafiyah, “Panggilkan untukku! Panggilkan untukku!” Shafiyah berkata,
“Panggilkan siapa wahai Rasulullah?” Beliau berkata, “Panggilkan Ahlulbaitku yaitu Ali
Fathimah, Hasan dan Husain!” Maka kami kirimkan (orang) untuk (mencari) mereka dan
merekapun datang kepada beliau. Kemudian Nabi Muhammad SAW membentangkan
mantel beliau ke atas mereka dan mengangkat tangan beliau (ke langit) dan berkata, “Ya,
Allah! Inilah keluargaku (‘aalii), maka berkahilah Muhammad dan keluarga (‘aali)
Muhammad” Dan Allah, pemilik Kekuatan Keagungan, mewahyukan, Sesungguhnya
Allah bermaksud hendak menghilangkan segala kekotoran (najis) dari kamu,
wahai Alhubait dan mensucikanmu sesuci-sucinya. 24
Meskipun mayoritas hadis – hadist tentang masalah ini menunjukkan bahwa
kalimat terakhir dari al-Ahzab ayat 33 diturunkan di rumah Ummu Salamah
sebagaimana telah dikutip di muka, hadis di atas memberikan implikasi bahwa ayat
tersebut bisa jadi telah diturunkan juga di rumah Shafiyah. Berdasarkan pandangan
ulama-ulama Sunni, termasuk Ibnu Hajar, adalah sangat mungkin bahwa ayat ini
diturunkan lebih dari sekali.
Dalam setiap kesempatan itu, Nabi mengulang-ulang tindakan beliau tersebut
di depan istri beliau yang berbeda-beda agar mereka semuanya menyadari siapakah
Ahlulbait itu.
Ucapan ketiga istri Nabi Muhammad SAW (Aisyah, Ummu Salameh
Shafiyah) tidak meninggalkan kepada kita sebuah ruangan pun semuanya menyakini
bahwa Ahlulbait pada masa hidup Nabi. Tidak lebih dari lima orang; Nabi
Muhammad SAW, Fathimah, Ali, Hasan dan Husain.
Fakta bahwa kata ganti bagian terakhir al – Ahzab ayat 33 beralih dari
perempuan menjadi laki-laki telah menghantarkan mayoritas ahli Sunni untuk
meyakini bahwa bagian terakhir tersebut diturunkar berkenaan dengan Ali,
Fathimah, Hasan dan Husain, sebagaimana yang di tampakkan oleh Ibnu Hajar
Haitsami:
Berdasarkan pada pendapat mayoritas ahli tafsir (Sunni), firman Allah
‘Sesungguhnya Allah berkehendak... (kalimat terakhir dari ayat 33:33)
diturunkan untuk Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain, sebab penggunaan
25
kata ganti laki-laki pada kata ‘ankum’ dan seterusnya.
Meskipun Syi’ah telah memberikan kehormatan yang amat besar kepada
istri-istri yang sangat saleh dari istri-istri beliau SAW, misalnya Khadijah, Ummu
Salamah, Ummu Aiman dan sebagainya, namun kami bahkan tidak memasukkan
orang-orang yang sangat dihormati tersebut kedalam Ahlulbait sebab Nabi
Muhammad SAW dengan jelas mengeluarkan dari Ahlulbait sesuai dengan hadis-
hadis sahih dari Sunni maupun Syi’ah. Ahlulbait memiliki keutamaan khusus yang
tidak dimiliki seorang pun yang saleh di dunia ini setelah Nabi Muhammad SAW.
Keutamaan tersebut menurut Quran adalah kemaksuman, keterbebasan dari noda
dan kesucian yang sempurna.
19. Referensi Sunni: Shahih Muslim, bab Keutamaan Sahabat, bagian keutamaan
Ahlulbait Nabi Muhammad saw, edisi 1980, terbitan Arab Saudi, versi Arab,
jilid 4, ha1.1883, hadis ke 61.
20. Referensi Sunni: Shahih at-Turmudzi, jilid 5, ha1.351, 663
21. Referensi Sunni: al-Mustadrak Hakim, jilid 2, hal. 416
22. Referensi Sunni: Usal al-Ghahah, Ibnu Atsir, jilid 2, hal. 289; Taf.sir alDurr
al-Mantsur, Suyuthi, jilid 5, hal. 198.
23. Referensi Sunni: Tafsir Thabari, jilid 22, hal. 7 pada komentar tentang ayat
33:33. Di samping Shahih Muslim dan Tirmidzi, yang dari keduanya kami
mengutip ‘Nadis Mantel’ (kisa) melalui otoritas Aisvah dan Ummu Salamah
secara berturut-turut, di bawah ini adalah referensi Sunni tentang hadis mantel,
yang rnelaporkan tentang kedua versi hadis tersebut; Musnad Ahmad Ibn
Harrbal, jilid 6, hal. 323, 292, 298; jilid 1, hal. 330-331; jilid 3, hal. 252; jilid
4, hal. 107 dari Abu Sa-id Khudri; Fadha’il ash-Sha}rabah, olch Ahmad bin
Hanbal, jilid 2, hal. 578, hadis ke 978; al-Mmtadrak oleh Hakim, jilid 2, hal.
416 (dua hadis) dari Ibnu Abu Salamah, jilid 3, hal. 146-148 (lima hadis), hal.
158, 172; al-Khasaisy, Nasa’i, hal. 4,8; as-Sunan oleh Baihaqi, diriwayatkan
dari Aisvah and Ummu Salamah; Tafsir al-Kabir -, Bukhari (penyusun Shahih
Bukhari), jilid 1, bagian 2, hal. 69; tazhir alKabir, oleh Fakhrurrazi, jilid 2,
hal. 700 (Istanbul), dari Aisyah; Tafsir alDurr al-Mautsur, Suvuthi, jilid 5,
hal. 198,605 dari Aisyah and Ummu Salamah; Tafsir Ibnu Jarir Thabari, jilid
22, hal. 5-8 (dari Aisyah dan Abu Sa’id Khudri), hal. 6,8 (dari Ibnu Abu
Salamah) (10 hadis); Tafsir, Qurthubi, pada komentar atas avat 33:33 dari
Ummu Salamah; Tafsir, Ibnu Katsir, jilid 3, hal. 485 (versi lengkap) dari
Aisyah dan Umar bin Abi Salamah; Lisd al-Ghabah, oleh Ibnu Atsir, jilid 2,
hal. 12; jilid 4, ha1.79 diriwayatkan dari Ibnu Abu Salamah; Shazun`iq al-
Muyriqah, Ibnu Hajar Haitsami, bab 11, bagian 1, hal. 221 dari Ummu
Salamah; Tarikh, Khatib Baghdadi, jilid 10, diriwavatkan dari Ibnu Abu
Salamah; Tafsir al-Kasysyaf, Zamakhsyari, jilid 1, hal. 193 diriwavatkan dari
Aisyah; Musykil al-Atsnr, Tahawi, bab l, hal. 332-336 (tujuh hadis);
Dhakha’ir al-Liqbah, Muhibb Thabari, hal. 21-26, dari Abu Sa’id Kzudri;
Majma’ az-Zawa’id, Haitsami, jilid 9, hal. 166 (dari berbagai jalur).
24. Referensi Sunni: al-Mustadrak Hakim, bab Memahami (keutamaan) Sahabat,
jilid 3, hal. 148. Pengarang kemudian menulis, "Hadis ini adalah shahih
berdasarkan kriteria dua Syekh (Bukhari Muslim)."; TaIkhis al-Mu-tadrak,
Dzahabi, jilid 3, hal. 148; Used -Ghabah, Ibnu Atsir, jilid 3, hal. 33.
25. Referensi Sunni: as-Sawaiij al-Muhriqah, oleh Ibnu Hajar, bab 11, bagian l, hal.
220.