Berdasarkan hadits-hadits mutawatir yang kesahihhannya diakui oleh sebuah
Muslim, Rasulullah SAW telah mengabarkan kepada pengikut-pengikut beliau pada
berbagai kesempatan bahwa beliau akan meninggalkan dua barang berharga dan bahwa
beliau akan meninggalkan dua barang berharga dan bahwa jika kaum Muslim berpegang
erat pada keduanya, mereka tidak akan tersesat setelah beliau tiada. Kedua barang
berharga tersebut adalah Kitabullah dan Ahlulbait Nabi as.
Diriwayatkan dalam Shahih Muslim, dan juga dalam sumber-sumber lainnya,
bahwa sepulang dari haji Wada, Rasulullah SAW berdiri di samping sebuah telaga yang
dikenal sebaiak Khum (Ghadir Khum) yang terletak antara Mekkah dan Madinah.
Kemudian beliau memuji Allah dan berzikir kepada-Nya, dan lalu bersabda,
“Wahai manusia, camkanlah! Rasanya sudah dekat waktunya aku hendak
dipanggil (oleh Allah SWT), dan aku akan memenuhi panggilan itu. Camkanlah! Aku
meninggalkan bagi kalian dua barang berharga. Yang pertama adalah Kitabullah, yang
didalamnya terdapat cahaya dan petunjuk. Yang lainya adalah Ahlulbaitku. Aku ingatkan
kalian, atas nama Allah, tentang Ahlulbaitku! Aku ingatkan kalian, atas nama Allah,
tentang Ahlulbaitku! Aku ingatkan kalian, atas nama Allah, tentang Ahlulbaitku (tiga
kali)!1
Sebagaimana terlihat dalam hadis sahih Muslim di atas, Ahlulbait tidak hanya
ditempatkan berdampingan dengan Quran, tetapi juga disebutkan tiga kali oleh Nabi
Muhammad SAW.
Meskipun ada fakta bahwa penyusun Shahih Muslim dan ahli-ahli hadis Sunni
lainnya telah mencatat hadis di atas dalam kitab-kitab Shahih mereka, disayangkan
bahwa mayoritas Sunni tidak menyadari keberadaan Ahlulbait tersebut, bahkan ada yang
menolaknya sama sekali. Kontra argumen mereka adalah sebuah hadis yang lebih mereka
pegangi yang dicatat oleh Hakim dalam al-Mustadrak-nya berdasarkan riwayat Abu
Hurairah yang menyatakan bahwa Rasulullah berkata, “Aku tinggalkan di antara kalian
dua barang yang jika kalian mengikutinya, kalian tidak akan tersesat setelahku;
Kitabullah dan Sunnahku!”
Tiada keraguan bahwa semua Muslim dituntut untuk mengikuti Sunnah Nabi
Muhammad SAW. Namun, pertanyaannya adalah Sunnah mana yang asli dan Sunnah
mana yang dibuat-buat belakangan, dan Sunnah palsu mana yang dinisbahkan kepada
Nabi Muhammad SAW.
Menjejaki sumber-sumber laporan Abu Hurairah yang menyatakan hadis versi
‘Quran dan Sunnah’, kami menemukan bahwa hadis itu tidak dicatat dalam enam koleksi
hadis sahih Sunni (Shihah as-Sittah). Tidak hanya itu, bahkan Bukhari, Nasa’i, Dzahabi
dan masih banyak lainnya, menyatakan bahwa hadis ini adalah lemah karena sananya
lemah. Meski dicatat bahwa meskipun kitab milik Hakim adalah sebuah koleksi hadis
Sunni yang penting, tetapi kitab ini dipandang Iebih rendah dibandingkan dengan enam
koleksi utama hadis-hadis Sunni. Sementara itu, Shahih Muslim (yang menyebutkan
‘Quran dan Ahlulbait’) menempati urutan kedua dalam enam koleksi hadis Sunni
tersebut.
Tirmidzi melaporkan bahwa hadis versi ‘Quran dan Ahlulbait’ terujuk pada lebih
dari 30 Sahabat. Ibnu Hajar Haitsami telah melaporkan bahwa dia mengetahui bahwa
lebih dari 20 Sahabat juga mempersaksikannya.
Sementara versi ‘Quran dan Sunnah’ hanya dilaporkan oleh Hakim melalui hanya
satu sumber. Jadi, mesti disimpulkan bahwa versi ‘Quran dan Ahlulbait’ adalah jauh
lebih bisa dipegang. Lebih-lebih, Hakim sendiri juga menyebutkan versi’Quran dan
Ahlulbait’ dalam kitabnva (al-Mustadrak) melalui beberapa rantai otoritas (isnad), dan
menegaskan bahwa versi ‘Quran dan Ahlulbait’ adalah hadis yang sahih sesuai
berdasarkan kriteria yang digunakan oleh Bukhari dan Muslim, hanya saja Bukhari tidak
meriwayatkannya.
Lebih jauh, kata ‘Sunnah’ sendiri tidak memberikan landasan pengetahuan.
Semua Muslim, tanpa memandang kepercayaan mereka, mengklaim bahwa mereka
mengikuti Sunnah Nabi Muhammad SAW. Perbedaan di antara kaum Muslim muncul
dari perbedaan jalur periwayatan hadis-hadis Nabi Muhammad SAW. Sedangkan hadis-
hadis tersebut bertindak sebagai penjelas atas makna-makna Quran, yang keasliannya
disepakati oleh semua Muslim. Maka, perbedaan jalur periwayatan hadis yang pada
gilirannya mengantarkan pada perbedaan interpretasi atas Quran dan Sunnah Nabi - telah
menciptakan berbagai versi Sunnah. Semua Muslim, jadinya terpecah ke dalam berbagai
mazhab, golongan, dan sempalan, yang diyakini berjumlah sampai 73 golongan.
Semuanya mengikuti Sunnah versi mereka sendiri yang mereka klaim sebagai Sunnah
yang benar. Kalau demikian, kelompok mana yang mengikuti Sunnah Nabi? Golongan
manakah dari 73 golongan yang cemerlang, dan akan tetap bertahan? Selain hadis yang
disebutkan dalam Shahih Muslim di atas, hadis sahih berikut ini memberikan satu-satunya
jawaban detail terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut. Rasulullah SAW telah bersabda:
Aku tinggalkan di antara kalian dua ‘perlambang’ yang berat dan berharga,
yang jika kalian berpegang erat pada keduanya kalian tidak akan tersesat
setelahku. Mereka adalah Kitabullah dan keturunanku, Ahlulbait-ku. Yang
Pemurah telah mengabariku bahwa keduanya tidak akan berpisah satu sama
lain hingga mereka , datang menjumpaiku di telaga (surga).2
Tentu saja, setiap Muslim harus mengikuti Sunnah Nabi Muhammad SAW.
Demikian pula kami, pengikut Ahlulbait, tunduk kepada Sunnah asli yang betul-betul
dipraktikkan oleh Nabi Muhammad SAW dan meyakininya sebagai satu-satunya jalan
keselamatan. Akan tetapi, hadis yang telah disebutkan di atas memberikan bukti bahwa
setiap apa yang disebut sebagai Sunnah, yang bertentangan dengan Ahlulbait, adalah
bukan Sunnah yang asli, melainkan Sunnah yang diadakan belakangan oleh beberapa
individu bayaran yang menyokong para tiran. Dan inilah basis pemikiran mazhab Syi’ah
(mazhab Ahlulbait). Ahlulbait Nabi, yakni orang-orang yang tumbuh dalam keluarga
Nabi, adalah orang yang lebih mengetahui tentang Sunnah Nabi dan pernik-perniknya
dibandingkan dengan orang-orang selain mereka, sebagaimana dikatakan oleh pepatah:
“Orang Mekkah lebih mengetahui gang-gang mereka daripada siapapun selain mereka.”
Secara argumentatif, bila kita menerima kesahihan kedua versi hadis tersebut
(Quran-Ahlulbait dan Quran-Sunnah), maka seseorang mesti tunduk kepada interpretasi
bahwa kata ‘Sunnah-ku’ yang diberikan oleh Hakim berarti Sunnah yang diturunkan
melalui Ahlulbait dan bukan dan sumber selain mereka, sebagaimana yang tampak dari
versi Ahlulbait yang diberikan oleh Hakim sendiri dalam al-Mustadrak-nya dan oleh
Muslim dalam Shahih-nya. Kini, marilah melihat hadis yang berikut ini:
Ummu Salamah meriwayatkan bahwa Rasulullah telah bersabda, ‘Ali
bersama Quran, dan Quran bersama Ali. Mereka tidak akan berpisah satu
sama lain hingga kembali kepadaku kelak di telaga (di surga).”3
Hadis di atas memberikan bukti bahwa Ali bin Abi Thalib dan Quran adalah tidak
terpisahkan. Jika kita menerima keotentikan versi’Quran dan Sunnah’, maka orang dapat
menyimpulkan bahwa yang membawa Sunnah Nabi adalah Imam Ali, sebab dialah orang
yang diletakkan berdampingan dengan Quran.
Menarik untuk melihat bahwa Hakim sendiri memiliki banyak hadis tentang
keharusan mengikuti Ahlulbait, dan salah satunya adalah hadis berikut ini. Hadis ini juga
diriwayatkan oleh banyak ulama Sunni lainnya, dan dikenal sebagai ‘Hadis Bahtera’,
yang dalamnya Nabi Muhammad SAW menyatakan, “Camkanlah! Ahlulbait-ku adalah
seperti Bahtera Nuh. Barang siapa naik ke dalamnya selamat, dan barangsiapa berpaling
darinya binasa.”4
Hadis di atas memberikan bukti fakta bahwa orang-orang yang mengambil
mazhab Ahlulbait dan mengikuti mereka, akan diselamatkan dari hukuman neraka,
sementara orang-orang yang berpaling dari mereka akan bernasib seperti orang yang
mencoba menyelamatkan diri dengan memanjat gunung (tebing), dengan satu-satunya
perbedaan adalah bahwa dia (anaknya Nuh yang memanjat tebing tersebut) tenggelam
dalam air, sedangkan orang-orang ini tenggelam dalam api neraka. Hadis yang berikut ini
juga menegaskan hal tersebut bahwa Nabi Muhammad SAW telah berkata tentang
Ahlulbait; “Jangan mendahului mereka, kalian bisa binasa! Jangan berpaling dari mereka,
kalian bisa binasa, dan jangan mencoba mengajari mereka, sebab mereka lebih tahu dari
kalian!”5
Dalam salah satu hadis yang lain Rasulullah SAW bersabda, “Ahlulbaitku adalah
seperti Gerbang Pengampunan bagi Bani Israil. Siapa saja yang memasukinya akan
terampuni.”6
Hadis di atas berhubungan dengan Surah al-Baqarah ayat 58 dan Surah al-A’raf
ayat 161, yang menjelaskan Gerbang Pengampunan bagi Bani Israil, sahabat-sahabat
Musa yang tidak memasuki Gerbang Pengampunan dalam ayat tersebut, tersesat di
padang pasir selama empat puluh tahun. Sedangkan orang-orang yang tidak memasuki
Bahtera Nuh, tenggelam. Ibnu Hajar menyimpulkan bahwa:
Analogi ‘Bahtera Nuh’ mengisyaratkan bahwa barang siapa yang mencintai dan
memuliakan Ahlulbait, dan mengambil petunjuk dari mereka akan selamat dari
gelapnya kekafiran, dan barang siapa yang menentang mereka akan tenggelam di
samudra keingkaran, dan akan binasa dalam ‘sahara’ kedurhakaan dan
pemberontakan.7
Sudahkah kita bertanya kepada diri kita sendiri, mengapa Nabi ‘Muhammad
SAW begitu menekankan Ahlulbait? Apakah hanya disebabkan karena mereka adalah
keluarga beliau, atau karena mereka membawa ajaran-ajaran (Surunah) beliau yang benar
dan mereka adalah individu-individu yang paling berpengetahuan di antara masyarakat
setelah beliau tiada?
Berbagai versi dari ‘Hadis Dua Barang Berat (ats-Tsaqalain)’, yang
membuktikan secara konklusif tentang perintah untuk mengikuti Quran dan Ahlulbait,
adalah hadis-hadis yang tidak biasa. Hadis-hadis ini sering diulang-ulang dan
dihubungkan dengan otoritas lebih dari 30 sahabat Nabi Suci melalui berbagai sumber.
Nabi Suci senantiasa mengulang dan mengulang kata-kata ini (dan tidak hanya dalam
satu keadaan, tetapi bahkan pada berbagai kesempatan) di depan publik, untuk
menunjukkan kewajiban mengikuti dan menaati Ahlulbait. Beliau mengatakannya kepada
khalayak pada saat Haji Perpisahan, pada hari Arafah, pada hari Ghadir Khum, pada saat
kembali dari Tha’if, juga di Madinah di.atas mimbar, dan di atas peraduan beliau saat
kamar beliau penuh sesak oleh sahabat-sahabat beliau, beliau bersabda,
Wahai saudara-saudara! Sebentar lagi aku akan berangkat dari sini, dan
meskipun aku telah memberitahu kalian. Aku ulangi sekali lagi bahwa aku
meninggalkan di antara kalian dua barang, yaitu Kitabullah dan
keturunanku, yakni Ahlulbait-ku. (Kemudian beliau mengangkat tangan Ali
dan berkata) Camkanlah! Ali ini adalah bersama Quran dan Quran adalah
bersamanya. Keduanya tidak akan pernah berpisah satu sama lain hingga
datang kepadaku di Telaga Kautsar.8
Ibnu Hajar Haitsami menulis, “Hadis-hadis tentang berpegang teguh itu telah
dicatat melalui sejumlah besar sumber dan lebih dari 20 sahabat telah dihubungkan
dengannya.”
Selanjutnya dia menulis,
“Di sini (mungkin) muncul keraguan, dan keraguan itu adalah bahwa hadis-hadis
itu telah datang melalui berbagai sumber, sebagian mengatakan bahwa kata-kata itu
diucapkan pada saat haji Wada. Yang lainnya mengatakan kata-kata itu diucapkan di
Madinah ketika beliau berbaring di peraduan beliau dan kamar beliau penuh sesak dengan
para sahabat beliau. Namun yang lainnya lagi mengatakan bahwa beliau di Ghadir Khum.
Atau hadis yang lain pada saat Tha’if. Tetapi tidak terdapat inkonsistensi di sini, sebab
dengan memandang penting dan agungnya Quran dan Ahlulbait yang suci, dan dengan
penekanan pokok masalah di depan orang-orang, Nabi Suci bisa jadi telah mengulang-
ulang kata-kata ini pada semua kesempatan tersebut sehingga orang yang belum
mendengar sebelumnya dapat mendengarnya kini.9
Menyimpulkan hadis di atas, Quran dan Ahlulbait adalah dua barang berharga
yang ditinggalkan oleh Nabi Muhammad SAW kepada kaum Muslim, dan Nabi
menyatakan bahwa jika kaum Muslim mengikuti keduanya mereka tidak akan tersesat
setelah beliau, dan mereka akan dihantarkan ke surga, dan bahwa siapa yang
mengabaikan Ahlulbait tidak akan bertahan. Hadis di atas telah dinyatakan oleh Nabi
Muhammad SAW untuk menjawab ‘Sunnah’ mana yang asli dan kelompok mana yang
membawa ‘Sunnah’ yang benar dari Nabi Muhammad SAW. Tujuannya adalah untuk
tidak membiarkan kaum Muslim tersesat jalan setelah kepergian Nabi Muhammad SAW.
Di samping itu, jika kita menggunakan kata ‘Sunnah’ saja, hal itu tidak memberikan
jawaban spesifik atas persoalan ini, sebab setiap kelompok Muslim mengikuti Sunnah
versi mereka sendiri maupun interpretasi mereka atas Quran dan Sunnah tersebut. Jadi,
perintah Nabi ini jelas untuk mendorong kaum Muslim untuk mengikuti interpretasi
Quran dan Sunnah Nabi yang diturunkan melalui saluran Ahlulbait yang keterbebasan
mereka dari dosa, kesucian mereka dan kesalehan mereka ditegaskan oleh Quran suci
(kalimat terakhir dari surah ke 33, al-Ahzab ayat 33).
Maksud tulisan ini adalah semata-mata untuk memperlihatkan bahwa pandangan
Syi’ah tentang kedudukan penting Ahlulbait dan Kepemimpinan (Imamah) mereka
tidaklah kabur. Dalam hal ini, kami ingin menyumbangkan pemahaman yang lebih baik
di antara kaum ‘Muslim sehingga dapat membantu mengurangi permusuhan beberapa
orang terhadap pengikut Ahlulbait Nabi Muhammad SAW.
Fakta bahwa kami (Syi’ah) telah mengambil akidah yang berbeda dari akidah
Asy’ariyah sejauh mengenai ushuluddin, dan berbeda dari empat mazhab fikih Sunni
sejauh mengenai syariah, ibadah ritual dan ketaatan, tidaklah didasarkan atas
sektarianisme atau persangkaan belaka. Tetapi, penalaran teologis lah yang telah
mengantarkan kami untuk mengambil akidah para Imam anggota Ahlulbait Nabi Suci,
Rasulullah SAW.
Oleh karena itu, kami seluruhnya secara sendiri-sendiri telah mengikatkan diri
kami sendiri kepada mereka dalam hal ketaatan maupun keyakinan, dalam pengambilan
pengetahuan kami dari Quran dan Sunnah Nabi, dan dalam seluruh nilai-nilai material,
moral dan spiritual yang didasarkan atas hujah-hujah logis dan teologis. Kami
melakukan semua itu dalam rangka menaati Nabi Suci SAW dan menundukkan diri di
hadapan Sunnah beliau.
Jika saja kami tidak diyakinkan oleh bukti-bukti untuk menolak seluruh Imam
selain Ahlulbait, dan untuk mencari jalan mendekati Allah SWT hanya melalui mereka,
kami mungkin. telah cenderung kepada akidah mayoritas Muslim demi persatuan dan
persaudaraan. Namun, penalaran yang tak terbantahkan menyuruh kepada seorang yang
beriman untuk mengikuti kebenaran, tanpa memandang pertimbangan apapun selainnya.
Muslim mayoritas tidak akan dapat memberikan argumen apapun untuk
menunjukkan mana di antara empat mazhab fikih mereka yang paling benar. Adalah
tidak mungkin untuk mengikuti semuanya, dan karena itu, sebelum orang dapat
mengatakan wajibnya mengikuti mereka, orang itu mesti membuktikan mazhab yang
mana (dari keempat mazhab) yang harus diikuti. Kami telah mencermati argumen-
argumen Mazhab Hanafi, Syafi’i, Maliki dan Hambali, dengan pandangan mata seorang
pencari kebenaran, dan kami telah jauh menelitinya, namun kami tidak menemukan
jawaban atas permasalahan ini, kecuali bahwa mereka (empat Imam tersebut) diyakini
sebagai fukaha yang besar dan jujur dan orang-orang yang adil. Tetapi, anda pasti
sepenuhnya sadar bahwa kemampuan dalam syariah, kejujuran, keadilan dan kebesaran
bukanlah monopoli empat orang tersebut. Lalu, mengapakah ada kewajiban untuk
mengikuti mereka?
Kami tidak yakin bahwa ada orang yang meyakini bahwa empat orang Imam ini
dalam hal apapun lebih baik dari Imam-Imam kami, keturunan yang suci dan murni dari
Nabi Muhammad SAW, bahtera keselamatan, Gerbang Pengampunan, yang melalui
mereka lah kita dapat menjaga dari perselisihan dalam masalah-masalah keagamaan,
sebab mereka adalah simbol petunjuk, dan pemimpin-pemimpin menuju jalan yang lurus.
Namun sayang, setelah wafatnya Nabi Suci SAW, politik mulai memainkan
perannya dalam urusan-urusan agama, dan anda tahu apa yang akhirnya terjadi di jantung
Islam. Selama masa-masa penuh cobaan ini, Syi’ah terus memegang teguh Quran dan
para Imam Ahlulbait yang ditinggalkan oleh Rasulullah SAW sebagai dua barang yang
paling berat (atraksi). Telah terdapat beberapa sekte ekstrem (ghulat) yang muncul di
setiap saat dalam perjalanan sejarah Islam. Namun, tubuh utama Syi’ah tidak pernah
menyimpang dari jalur tersebut sejak masa Ali bin Abi Thalib dan Fathimah hingga hari
ini.
Syi’ah sudah ada ketika Asyari (Abu Hasan Asyari) dan empat Imam Sunni
belum lahir dan belum terdengar suaranya. Hingga tiga generasi pertama sejak masa Nabi
Suci SAW, Asyari dan empat Imam Sunni belumlah dikenal. Asyari lahir pada 270-320
H, Ibnu Hanbal lahir pada 164-241 H, Syafi’i lahir pada 150-204 H, Malik lahir pada 95-
169 H, sedangkan Abu Hanifah lahir pada 80-150 H.
Syi’ah, di sisi lain, mengikuti jalur Ahlulbait, yang termasuk dalamnya Ali bin
Abi Thalib, Fathimah binti Muhammad Rasulullah SAW, Hasan bin Ali bin Abi T’halib
dan Husain bin Ali bin Abi Thalib yang semuanya hidup sezaman dengan Nabi
Muhammad SAW dan tumbuh besar dalam keluarga beliau.
Sejauh mengenai pengetahuan Imam-Imam Ahlulbait, cukuplah dikatakan bahwa
Ja’far Shadiq adalah guru dua Imam Sunni, yaitu Abu Hanifah dan Malik bin Anas. Abu
Hanifah mengatakan, “Kalaulah tanpa dua tahun itu, Nu’man pasti sudah celaka,”
merujuk pada dua tahun dia menimba ilmu dari Ja’far Shadiq. Malik juga mengakui
dengan terus terang bahwa dia tidak pernah menemukan seorangpun yang lebih terpelajar
(berilmu) dalam fikih Islam dari pada Ja’far Shadiq.
memerintahkan Abu Hanifah untuk
Khalifah Abbasiyah, Manshur,
mempersiapkan sejumlah pertanyaan yang sulit untuk Ja’far tentang hukum Islam dan
menanyakannya kepada Ja’far di hadapan Manshur. Abu Hanifahpun mempersiapkan 40
pertanyaan yang sulit dan menanyakannya . kepada Ja’far di depan Manshur. Imam tidak
hanya menjawab seluruh pertanyaan tersebut, tetapi bahkan mengemukakan pandangan
ulama-ulama Irak dan Hijaz (pada saat itu). Dalam kesempatan tersebut, Abu Hanifah
berkomentar, “Sungguh, orang yang paling berilmu di antara manusia adalah orang yang
paling tahu tentang perbedaan pendapat di antara mereka.”10
Malik, Imam Sunni yang lain, berkata;
“Aku biasa datang kepada Ja’far bin Muhammad dan bersamanya untuk
jangka waktu yang lama. Setiap aku mengunjungi dia, aku menemukannya
sedang salat (berdoa), puasa, atau sedang membaca Quran. Setiap dia
melaporkan sebuah pernyataan dari Rasulullah, dia sedang dalam keadaan
berwudhu. Dia adalah seorang ahli ibadah yang terkemuka yang tidak
mempedulikan dunia materi. Dia termasuk salah seorang yang takut kepada
Allah.11
Syaikh Muhammad Abu Zahrah, salah seorang Ulama Sunni kontemporer,
berkata;
“Ulama-ulama dari berbagai mazhab Islam tidak pernah sepakat secara
bulat dalam satu masalah seperti kesepakatan mereka mengenai
pengetahuan Imam Ja’far dan keutamaan beliau: Imam Sunni yang hidup
pada zaman beliau adalah murid-murid beliau. Malik adalah salah seorang
murid beliau dan salah seorang dari orang-orang yang hidup sezaman
dengannya, misalnya Sufyan Tsauri dan lain-lain. Abu Hanifah adalah juga
salah seorang murid beliau, meskipun usia keduanya hampir sama, dan dia
(Abu Hanifah) menganggap Imam Ja’far sebagai orang yang paling berilmu
di dunia Islam (saat itu).12
Ikatan persatuan dan persaudaraan dapat dikuatkan, dan perselisihan dapat
dihentikan, jika seluruh Muslim sepakat bahwa mengikuti Ahlulbait adalah sebuah
keharusan. Dalam kenyataannya, banyak ulama besar Sunni telah mengakui mazhab
Syi’ah sebagai salah satu mazhab Islam yang paling kaya karena adanya penalaran
mendalam dalam diri mereka bahwa ilmu-ilmu di mazhab Syi’ah diturunkan dari
Ahlulbait Nabi Muhammad SAW, yang kesucian dan keunggulan pengetahuan mereka
ditegaskan oleh Quran. Ulama-ulama Sunni semacam itu bahkan telah mengeluarkan
fatwa bahwa orang-orang Sunni dapat mengikuti fikih ‘Syi’ah Dua Belas Imam’. Di
antara ulama-ulama tersebut adalah Syaikh Mahmud Syaltut, rektor Universitas Azhar.
Lebih-lebih, perselisihan yang ada di antara berbagai mazhab Sunni sendiri sama
sekali tidak lebih sedikit dari pada persesuaian antara Syi’ah dan Sunni. Sejumlah besar
tulisan dari ulama-ulama kedua mazhab akan membuktikan hal ini.
Karena menurut hadis ats-Tsaqalain Ahlulbait membawa beban yang sama di
mata Allah SWT dengan Quran suci, maka yang pertama (Ahlulbait) akan memiliki
kualitas yang sama dengan yang kedua (Quran). Sebagaimana benarnya Quran dari
permulaan hingga akhir tanpa bayang-bayang keraguan sedikitpun, dan sebagaimana
wajibnya bagi setiap Muslim untuk mematuhi perintah-perintahnya, demikian pula
dengan Ahlulbait yang membawa petunjuk yang sempurna dan lurus, yang perintahnya
mesti diikuti oleh semua orang.
Oleh karena itu, tidak ada kemungkinan untuk melarikan diri dari menerima
kepemimpinan mereka dan mengikuti kepercayaan dan akidah mereka. Kaum Muslim
terikat oleh hadis Nabi Suci tersebut untuk mengikuti mereka, dan bukan selain mereka.
Sebagaimana tidak mungkin bagi setiap Muslim berpaling dari Quran suci atau
mengambil sekumpulan hukum-hukum yang menyimpang darinya, demikian pula ketika
Ahlulbait telah dipaparkan dengan tegas tanpa keraguan sebagai setara berat dan
pentingnya dengan Quran, maka sikap yang sama harus diambil berkenaan dengan
perintah-perintah mereka, dan tidak diperbolehkan menyimpang dari mereka untuk
mematuhi orang-orang yang lain.
Setelah menyebutkan hadis at-Tsaqalain, Ibnu Hajar berkeyakinan bahwa; “Kata-
kata ini menunjukkan bahwa Ahlulbait yang memiliki keistimewaan itu adalah orang-
orang yang paling unggul di antara manusia.”13
Rasulullah telah bersabda;
“Siapa yang ingin hidup dan mati seperti aku, dan masuk surga (setelah mati)
yang telah dijanjikan oleh Tuhanku kepadaku, yakni surga yang tak pernah habis,
haruslah mengakui Ali sebagai penyokongnya setelahku, dan setelah dia (Ali)
harus mengakui anak-anak Ali, sebab mereka adalah orang-orang yang tidak akan
pernah membiarkanmu keluar dari pintu petunjuk, tidak pula mereka akan
memasukkanmu ke pintu kesesatan!”4
Pada bagian lain, signifikansi kepemimpinan Ahlulbait telah ditegaskan oleh
analogi menawan dari Rasulullah SAW berikut ini:
“Kedudukan Ahlulbait di antara kalian adalah seperti kepala bagi tubuh, atau
mata bagi wajah, sebab wajah hanya dibimbing oleh mata.”15
Rasulullah SAW juga telah bersabda, “Ahlulbait-ku adalah tempat yang aman
untuk melarikan diri dari kekacauan agama.” (Mustadrak Hakim).
Hadis ini, karena itu, tidak meninggalkan sedikitpun ruangan untuk keraguan
apapun. Tidak ada jalan lain kecuali mengikuti Ahlulbait dan meninggalkan semua
pertentangan dengan mereka.
Rasulullah bersabda, “Mengakui ali Muhammad (keluarga Muhammad) berarti
keselamatan dari Neraka, dan kecintaan kepada mereka merupakan kunci untuk melewati
jembatan Sirath (al-Mustaqim), dan ketaatan kepada mereka adalah perlindungan dari
kemurkaan Ilahi.”16
Abdullah bin Hantab menyatakan, “Rasulullah SAW menghadap ke kita di
Juhfah seraya mengatakan, `Bukankah aku memiliki hak yang lebih besar atas dirimu
dibandingkan dengan dirimu sendiri?’ Mereka semua menjawab, ‘Tentu saja.’ Lalu
beliau bersabda, ‘Aku akan meminta pertanggung jawabanmu atas dua perkara, yaitu
Kitabullah dan keturunanku.’17
Oleh karena itu, alasan bahwa kami mengambil akidah Ahlulbait sebagai
pengecualian atas yang lainnya adalah karena Allah Sendiri yang telah memberikan
preferensi kepada mereka saja. Cukuplah untuk mengutip syair Syafi’i (salah satu Imam
Sunni) tentang Ahlulbait yang berbunyi sebagai berikut:
Ahlulbait Nabi,
Kecintaan kepadamu adalah kewajiban yang ditetapkan oleh Allah kepada
manusia,
Allah telah mewahyukannya dalam al-Quran, Cukuplah di antara keagungan
kedudukanmu bahwa Barang siapa yang tidak bersalam kepadamu, salatnya tidak
sah. Jika kecintaan kepada Ahlulbait Nabi adalah Rafidhi (menolak), Maka
biarlah seluruh manusia dan jin mempersaksikan bahwa aku adalah seorang
Rafidhi.18
Dalam salat kita, dan kami yakin juga dalam salat anda, kita tentu mengucapkan ;
“Saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan Rasul-Nya. Ya, Allah,
sampaikanlah shalawat-Mu pada Muhammad dan keluarganya!” (Asyhadu anna
Muhammadan ‘abduhu wa Rasuluh. Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Ali
Muhammad).
Catatan Kaki1. Referensi Sunni: Shahihb Muslim. dan keutamaan sahabat, bagian keutamaan Ali,
publikasi arab saudi 1980, versi arab, jilid 4 hal 1873, hadis ke 36, (untuk versi
inggris lihat Bab CMXCVI, jilid ke 4, hal 1286. hadis ke 5.920) dan sumber –
sumber lain, misalnya shahih at-Turmudzi dan Musnas Ahmad
2. Referensi Sunni: Shahih at-Turmuzhi. Versi arab. Jilid 5. hal 222-663.328.
dilaporkan lebih dari 30 sahabat dengan berbagai rantai periwayatan (sanad) al-
Mustadrak oleh hakim. Dalam bab memahami (keutamaa) sahabat jilid3. hal
109.100.148.533. Hakin juga menyatakan bahwa hadis – hadis shahih menutur
criteria dua Syekh ( Bukhari dan Muslim); Sunan Daramis jilid 2 hal 432; Musnad
Ahmad bin Hanbal, lijid 3 hal. 14.17.26.59; jidil 4 hal. 336.370-372; jilid 5, hal.
182.189.350.366.419; fadha’il ash-Shahabah, Ahmad bin Hambal, jilid 2. hal 585
hadis ke 990;al-khasha’ish. Nasa ‘I hal 21.30; as-Sawiq al-Muhriqah. Ibnu Hajar
haitsami, Bab II, bagian 1 hal 230; al-kabir, Thabari, jilid 3 hal 62-63 137; Kanz al-
Ummal, Muttaqi hindi, bab al-I’tisham bi Hablilah, jiulid 1 hal 44; Tafsir Ibnu
Katsir ( versi lengkap) jilid 4 hal 113, pada komentar pada ayat – ayat 42:23 (empat
edisi); at-tabaqat al-Kubra, Ibnu Sa’d jilid 2 hal 194, publikasi dar Isadder Libanon;
al-Jami’ash shaghir, suyuthi jilid 1 hal 194 juga pada jilid 2; Majda az’Zawa’i.
Haitsami . jilid 9 hal 163; al-fatih al-kabitr, Binhani, jilid 1 hal451; Ushul Ghabah fi
Ma’rifat ash-Shahbat, Ibnu Atsir, jilid 2 hal 12; Jami al-Ushul. Ibu Atsit, jilid 1
hal187. Hisory of ibn Asakir, jilid 5. halaman 436; at-ytajul jamilil Ushul, jilid 3 hal
308; al-Durr al-Mantsur Hafizha suyuthi, jilid 2 hal 60; Yamabi al- Mawadah,
Qunduzi hanafi hal. 38.183; Abaqat al-Anwar, jilid 1 hal 16 dan masih banyak yang
lain.
3. Referensi Sunni; al-Mustadrak, Hakim jilid 3 gal 124, berdsarkan otoritas Ummu
salamah; ash-Ahawa’iqa-Muhriqat, Ibnu hajar bab 9 bagian ke 2 hal 191-194’ al-
Awsath, Tabaranin juga dalam as-Saghir; Tabarik al - khulafa; jalaludi Suyuthi hal
173
4. Referensi Sunnial- Mutadrak, hakin jilid 2 hal 343 jilid 3 hal 150-151 dari otoritas
abu Dzar. Hakim menyatakan bahwa hadis ini shahih; fadha il ash-Shahab Ahmad
Bin Hambal, jilid 2 hal; 786; Tafsir kabit, Fakhrurrazi pada komentar ayat diatas
ayat 42;23, bagian ke 27 hal167 Bazzar dari otoritas Ibnu Habbas dan Ibnu Zybair
dengan kata – kata ‘tenggelam’ bukan ‘binasa’Ash-Shawa ‘iq al-Muhriqah. Ibnu
hajar hait sami, bab 11 bagian 1 hal 234 komentar atas ayat 8;33 juga pada bagian
ke 2 hal 282. Dia mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan dari banyak otoritar
‘tarikha al-Khulafa dan Jami us Saghi Suyuthi; al-Kabit. Tabarani, jilid 3 hal 37,
38,; as-saghir , Tabani, jilid 2 gal 22. Hilyat al-Awliya. Abu Nu’aim, jilid 4 hla 306;
al-Kina wal Asma, Dulabi, jilid 1 hal 76; Yanabi al-Mawaddah. Qunduzi Hanafi,
hal 30.370; Is’af ar- traghibin, saban
5. Referensi Sunni; al-Durr al-mantsur, Suyuthi, jilid 2 hal 60; ash Shawa’iq al-
Muhriqah Ibnu hajar haitsama bab II bagian 1 hal 230. dikutif dar tabarani, juga di
bagian 2, hal 342; Ushul Ghabah, Ibnu Atsir, jilid 3 hal 137; Yanabi al’Mawaddah,
Qunduzi hanafi hal 41 335 jkanz al-Ummal, Muttaqi Hindi, jilid 1 hal 168, Majda
‘az Zawa’is. Haitsami jilid 9 hla 163. Aqabat al-Amwar, jilid 1 hla 184’; A’alam al-
Wara, hal 28-33; as-Sirah al-halabiyyah, Nuriddin Halabi, jilid 3 hal 273.
6. Referensi Sunni; Majma’az-Zawid, haitsmi, jilid 9 hal 168; al-Awsat, tabarani hadis
ke 18; Arba’in. abhani, hal 220,234, hadis yang mirip di catat oleh Daruquthni
maupun Ibnu Hajar dalah kitabnya ash-Ahawa’iq al-Muhriqah, bab 9 bagian 2 hal
dimana Nabi Muhammad saw mengatakan, "Ali adalah Gerbang Pengampunan,
siapa saja yang memasukinya adalah seorang yang beriman dan siapa saja yang
kcluar darinya adalah orang yang tidak beriman."
7. Referensi Sunni: ash-Shawa’iq al-Muhriqah, Ibnu Hajar, ha1.91.
8. Referensi Sunni: nsh-Shawa’iq al-Muhriqah, Ibnu Hajar, bab 9, bagian 2.
9. Referensi Sunni: ash-Shama’iq al-Muhriqah, Ibnu Hajar Haitsami, bab 11,
bagian l, hal. 230.
10. Referensi Sunni: Syaikh Muhammad Abu Zahrah dalam kitabnya alImam
Shadiq, hal. 27.
11. Referensi Sunni: Syaikh Muhammad Abu,Zahrah dalam kitabnya alImam
Shadiq, hal. 66.
12. Referensi Sunni: Syaikh Muhammad Abu Zahrah dalam kitabnya al-Imam
Shadiq, hal. 66.
13. Referensi Sunni: as-Shawn’iq al-Muhriqah, Ibnu Hajar, hal. 136.
14. Referensi Sunni: Kanz al-Llrnmal, Muttaqi Hindi, jilid 6, hal. 155, hadis ke
2.578, juga ringkasan Knnz al-Limmnl yang ada di catatan pinggir Musnad
Anruad ibn Hanbnl jilid 5, hal. 32.
15. Referensi Sunni: Is’af ar-Raghibift, Saban; as-Synraf al-Mua’abbad, oleh
Syaikh Yusuf Abahani, hal. 31, melalui lebih dari sah.t jalvr.
16. Referensi Sunni: Kitab asy-Syafa, Qadhi Iyadh, dipublikasikan pada tahun
1328 H, jilid 2, hal. 40; Yatvabi al-Mawaddah, Qunduzi Hanafi, bagian 65,
hal. 370.
17. Referensi Sunni: Ihya’al-Mayyit, Hafizh Jalaluddin Suyuthi; Arba’in al-
‘Arbain, Allamah Abahani.
18. Referensi Sunni: Tafsir al-anbir, Fakhruddin Razi, jilid 27, hal. 166, pada
komentar atas ayat Quran 42:23; ash-Shawa’iq al-Muhriqah, oleh Ibnu Hajar,
hal. 88, berkenaan dengan ayat Quran 33:33.