Dalam bagian sebelumnya, tiga hadis sahih tentang mantel (hadis al-Kisa)
dilaporkan dalam Shaih Muslim, Shahih Tirmidza dan Mustadrak Hakim. Dalam tiga
hadis ini, tiga orang istri Nabi (Aisyah, Ummu Salamah dan Shafiyah) menegaskan
bahwa Nabi Muhammad SAW mencirikan bahwa Ahlulbait beliau adalah terbatas pada
putri beliau Fathimah, Ali, dan kedua anak mereka Hasan dan Husain. Juga menurut
kutipan tersebut di atas, kalimat pensucian yang ada di alam Quran Surat al-Ahzab ayat
33 diturunkan berkenaan dengan keutamaan mereka dan bukan untuk istri-istri Nabi
Muhammad SAW. Kini, mari kita lihat apa yang biasa dilakukan oleh Rasulullah SAW
setelah turunnya ayat tersebut.
Kebiasaan Nabi Setelah Turunnya Ayat Pensucian
Anas bin Malik meriwayatkan, “Sejak turun ayat ‘Sesungguhnya Allah
berkehendak... (kalimat terakhir al-Ahzab ayat 33)’ dan selama enam bulan sesudah itu,
Rasulullah SAW biasa berdiri di pintu rumah Fathimah dan berkata, ‘Waktunya untuk
salat, wahai Ahlulbait! Sungguh Allah berkehendak untuk menghilangkan segala yang
dibenci dari kalian dan menjadikan kalian suci dan tak ternoda.”26
Abu Hurairah meriwayatkan, “Rasulullah selama sembilan bulan di Madinah
terus menerus mendatangi pintu Ali pada setiap salat subuh, meletakkan kedua tangan
beliau di kedua sisi pintu dan berseru, “Ash-shalah! Ash-shalah’ Sungguh Allah akan
menghindarkan segala kekotoran dari kalian, wahai Ahlulbait Muhammad, dan akan
menjadikan kalian suci dan tak ternoda.”27
Ibnu Abbas meriwayatkan, “Kami menyaksikan Rasulullah selama sembilan
bulan mendatangi pintu rumah Ali bin Abi Thalib, pada setiap waktu salat dan berkata,
‘Assalamu‘alaikum wa Rahmatullahi Ahlulbait! Sungguh hanyalah Allah berkehendak
menghilangkan segala kejahatan dari kalian, Ahlulbait, dan mensucikan kalian sesuci-
sucinya.’ Beliau melakukan hal ini tujuh kali setiap hari.”28
Dalam kitab Majma az-Zawa’id dan Tafsir-nya Suyuthi, telah dikutip dari Abu
Said Khudri dengan variasi kalimat sebagai berikut :
Selama tujuh puluh hari Nabi Suci SAW mendekati rumah Fathimah
Zahra setiap pagi dari biasa berkata, “Kedamaian atas kalian wahai
Ahlulbait! Waktu shalat telah tiba.” Dan setelah itu beliau biasa membaca,
“Wahai Ahlulbait Nabi...” dan kemudian berkata, “Aku berperang dengan
siapa yang memerangi kalian dan aku berdamai dengan siapa yang
berdamai dengan kalian!”29
Orang-orang yang bersaksi bahwa ayat pensucian (al-Ahzab : 33) berkenaan
dengan keutamaan Keluarga Suci (Ahlulbait) yaitu:
Hasan bin Ali bin Abi Thalib
Hakim dalam hubungannya dengan prestasi-prestasi Hasan dan Haitsami telah
meriwayatkan bahwa Hasan telah berdiri di depan orang-orang setelah syahidnya
ayahnya, Ali bin Abi Thalib, dan berkata selama pidatonya;
“Wahai orang-orang! Siapa yang mengetahui aku mengenaliku, dan siapa yang
tidak mengenaliku harus mengetahui bahwa akulah Hasan bin Abi Thalib. Aku putra
Nabi Suci dan Washi-nya. Akulah putra dari orang yang mengajak orang-orang menuju
Allah dan memperingatkan mereka akan siksaan api neraka-Nya. Akulah putra dari
‘Suluh Yang Menerangi’ (sirajan munira). Aku adalah anggota dari keluarga yang
Jibril biasa turun ke dalamnya dan naik lagi menuju langit. Aku anggota keluarga yang
Allah telah mencegah segala kekotoran dari mereka dan menjadikan mereka suci.30
Telah diriwayatkan dalam Majma’ az-Zawa’id dan Tafsir Ibnu Katsir, bahwa;
Setelah kesyahidan ayahnya dan saat menduduki kekhalifahan, suatu hari
ketika Hasan sedang menjalankan shalat, seseorang menyerangnya dan
menikamkan sebilah pedang di pahanya. Dia tetap berada di tempat tidur
selama beberapa bulan. Setelah sembuh, dia memberikan khutbah dan
mengatakan, “Wahai orang Irak! Demi Allah, Kami adalah Amir kalian,
tamu kalian dan termasuk salah seorang anggota keluarga yang Allah
Yang Maha Besar telah berfirman, ...Wahai Ahlulbait Nabi...! Hasan
membahas masalah ini panjang lebar sehingga orang-orang yang ada di
mesjid mulai menangis.31
Ummul Mukminin,Ummu Salamah
Dalam kitab Musykil al-Atsar, Tahawi telah mengutip Umrah Hamdaniah
mengatakan;
“Aku pergi ke Ummu Salamah dan menyapanya. Dia bertanya,
‘Siapakah kamu?’ Aku menjawab, ‘Saya Umrah Hamdaniah.’ Umrah
kemudian melanjutkan ceritanya. Lalu aku berkata, ‘Wahai Ummul
Mukminin! Katakanlah sesuatu tentang orang yang telah terbunuh di
antara kita hari ini. Sekelompok orang menyukainya dan sekelompok
yang lain bermusuhan dengannya!” (yang dia maksud adalah Ali bin
Abi Thalib). Ummu Salamah berkata, ‘Apakah kamu termasuk yang
menyukainya atau yang memusuhinya?’ Aku menjawab, Aku tidak
menyukainya dan tidak pula memusuhinya.’ (Di sini cerita kacau, dan
setelah itu) Ummu Salamah mulai bercerita tentang turunnya ayat
tathhir dan pada sisi ini mengatakan, ‘Allah menurunkan ayat ...Wahai
Ahlulbait Nabi.. tidak ada seorangpun dalam kamar saat itu kecuali
Jibril, Nabi suci, Ali, Fathimah, Hasan dan Husain. Aku berkata,
‘Wahai Nabi Allah! Apakah aku juga termasuk Ahlulbait?’ Beliau
menjawab, ‘Allah akan memberimu pahala dan membalas jasamu.’
Aku berharap bahwa beliau akan mengatakan “Ya” dan itu akan
merupakan jawaban yang sangat lebih berharga dibandingkan dengan
apa pun di dunia ini.”32
Ahmad dalam Musnad-nya, Thabari dalam Tafsir-nya dan Tahawi dalam
Musykil al-Atsar telah mengutip Syahru bin Hausyab sebagai mengatakan:
Ketika berita kesyahidan Husain sampai di Madinah, saya mendengar
Ummu Salamah berkata, “Mereka telah membunuh Husain. Aku sendiri
telah menyaksikan bahwa Nabi Suci membentangkan mantel Khabari
beliau kepada mereka dan mengatakan, ‘Ya Allah! Inilah anggota
keluargaku! Singkirkanlah dari mereka segala kekotoran dan jadikanlah
mereka bersih dan suci!’’33
Ibnu Abbas
Ahmad, Nasa’i, Muhibuddin, dan Haitsami telah melaporkan (kata-kata
diambil dari Musnad Ahmad) bahwa Amru bin Maimun berkata;
“Aku bersama Ibnu Abbas ketika 9 orang datang kepadanya dan
mengatakan, ‘Ibnu Abbas, keluarlah bersama kami, atau biarkanlah
kami sendiri!’ Dia menjawab, ‘Aku akan keluar bersama kalian’ Pada
hari-hari itu mata Ibnu Abbas baik-baik saja dan dia dapat melihat.
Mereka terlibat dalam percakapan, dan saya tidak memperhatikan apa
yang mereka bicarakan. Setelah beberapa saat Ibnu Abbas kembali
kepada kita. Dia kemudian mengibaskan pakaiannya seraya berkata,
‘Celakalah mereka! Mereka berbicara tentang seorang yang menikmati
sepuluh keunggulan’ (Kemudian Ibnu Abbas merinci keutamaan Ali
hingga dia berkata), ‘Nabi Suci mengembangkan mantel beliau di atas
Ali, Hasan dan Husain dan bersabda, “Wahai Ahlulbait Nabi! Allah
berkehendak untuk menjaga kalian dari segala jenis kekotoran dan cela,
dan akan mensucikan kalian sesuci-sucinya.”“34
Sa’ad bin Abi Waqqash
Dalam al-Khasyaisy, Nasa’i telah mengutip Amir bin Sa’d bin Abi vaqqash
yang bercerita bahwa Muawiyah telah berkata kepada Sa’d bin Abi Waqqash;
“Mengapa kamu menolak untuk mencaci Abu Turab?” Sa’d menjawab,
“Aku tidak akan mencaci Ali karena tiga sifatnya yang aku dengar dari
Nabi Suci. Jika satu saja dari ketiganya ada padaku, itu jauh lebih
berharga bagiku ketimbang barang apa pun di dunia ini. Aku
mendengar dari Nabi Suci ketika beliau meninggalkan Ali untuk
melakukan peperangan, bersama-sama perempuan dan anak-anak
sebagai wakil beliau di Madinah. Ali bertanya, ‘Akankah anda
meninggalkanku bersama-sama dengan perempuan dan anak-anak di
Madinah?’ Nabi Suci menjawab, ‘Tidak sukakah kamu bahwa
kedudukanmu di sisiku seperti halnya kedudukan Harun di sisi Musa?’
Pada hari penentuan Khaibar, juga, aku mendengar Nabi Suci berkata,
‘Besok, aku akan serahkan panji-panji (tentara) kepada seseorang yang mencintai
Allah dan Rasul-Nya, dan Allah dan Rasul-Nya pun mencintainya’. Semua orang di
antara kita sangat ingin dianugerahi dan dipilih oleh pernyataan itu, dan berharap
panji-panji itu akan ada di tangan kita. Sementara itu Nabi Suci berkata, ‘Bawalah Ali
ke hadapanku!’ Maka Ali datang dan matanya sedang sakit. Nabi Suci kemudian
menorehkan ludah beliau ke mata Ali dan memberikan panji-panji ke tangannya.
Pada kesempatan lain, ketika ayat tathhir diturunkan, Nabi Suci memanggil
Ali, Fathimah, Hasan dan Husain ke dekat beliau dan berkata, ‘Ya Allah! Inilah
Ahlulbaitku.”35
Thabari, Ibnu Katsir, Hakim dan Tahawi juga telah mengutip Sa’d bin Abi
Waqqash bahwa pada saat turunnya ayat ini, Nabi Suci memanggil Ali bersama-sama
dengan kedua putranya dan Fathimah dan mengerudungi mereka di bawah mantel
beliau dan berkata, “Ya Allah! Inilah anggota keluargaku.”36
Abu Said Khudri
Diriwayatkan bahwa Abu Said Khudri berkata,
“Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, Ayat ini telah diturunkan tentang
lima orang yaitu aku sendiri, Ali, Hasan, Husain dan Fathimah”.37
Watsilah bin Asqa’
Mengenai ayat 33 Surah al-Ahzab, Thabari meriwayatkan bahwa Abu Ammar
mengatakan;
“Aku sedang duduk-duduk dengan Watsilah bin Asqa ketika sebuah
diskusi tentang Ali terjadi, dan orang-orang memakimakinya. Ketika
kejadian tersebut hampir berakhir, dia mengatakan kepadaku, ‘Tetaplah
duduk hingga aku dapat bercakap-cakap denganmu tentang orang yang
telah mereka maki-maki tersebut. Aku sedang bersama Nabi Suci ketika
Ali, Fathimah, Hasan dan Husain mendekati beliau dan Nabi Suci
membentangkan mantel beliau ke atas mereka dan berkata, “Ya Allah!
Inilah Ahlulbaitku. Hindarkanlah dari mereka setiap kekotoran dan
jadikanlah mereka bersih dan suci”38
Ibnu Atsir juga telah mengutip Syaddad bin Abdillah berkata;
“Saya telah mendengar dari Watsilah bin Asqa bahwa ketika kepala
Husain dibawa, salah satu orang Suriah memaki Husain dan ayahnya,
maka Watsilah berdiri dan berkata, Aku bersumpah demi Allah bahwa
sejak aku mendengar Nabi Suci berkata tentang mereka, “Wahai Ahlulbait
Nabi! Allah bermaksud hendak mensucikanmu dari kekotoran dan cela,
dan hendak mensucikanmu sesuci-sucinya,” aku selalu mencintai Ali,
Fathimah, Hasan dan Husain.”‘39
Ali bin Husain,Zainal Abidin
Thabari, Ibnu Katsir dan Suyuthi dalam tafsir mereka menyatakan; Ali bin
Husain telah berkata kepada seorang Suriah, Pernahkah kamu membaca
ayat ini dalam Surah al-Ahzab, Wahai Ahlulbait Allah hendak
menghilangkan segala kekotoran dari kamu dan akan mensucikan kamu
dengan sesuci-sucinya?’ Orang Suriah tersebut berkata, ‘Apakah ayat ini
berkenaan dengan kalian?’ Imam menjawab, ‘Ya, ayat itu berkenaan
dengan kami”. 40
Kharazmi telah mengutip kalimat berikut ini dalam kitabnya Maqtal:
Ketika Zainal Abidin dan tawanan-tawanan lain yang berasal dari
Keluarga Nabi Suci SAW dibawa ke Damaskus setelah syahidnya Husain
cucu Nabi Suci, dan ditempatkan di sebuah penjara yang terletak di
sebelah Mesjid Besar Damaskus, seorang lelaki tua mendekati mereka dan
berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah membunuh kalian dan
membinasakan kalian dan memusnahkan laki-laki kalian SAW
memberikan kekuasaan kepada amirul mukminin (Yazid) atas diri kalian.”
Ali bin Husain berkata, “Hai orang tua! Pernahkah kamu membaca Quran
yang suci?” Orang itu menjawab, “Ya!” Kemudian Imam berkata,
“Pernahkah kamu membaca ayat Katakanlah Hai Muhammad! Aku tidak
meminta upah apa pun kepada kalian atas misiku kecuali kecintaan
kepada keluargaku (al-qurbaa)?” Orang tua itu berkata, “Ya, saya pernah
membacanya!”
Imam berkata, “Pernahkah kamu membaca ayat Maka berikanlah apa yang
pantas bagi keluarga terdekat, fakir miskin dan para pejalan dan ayat
Ketahuilah bahwa apa saja (pendapatan) yang kamu peroleh maka
seperlimanya adalah untuk Allah, Rasul, keluarga terdekat dan fakir
miskin, jika kamu beriman kepada Allah dan apa yang Kami wahyukan
kepada hamba Kami dalam al-Quran?” Orang tua itu menjawab, “Ya,
saya pernah membacanya!”
Imam berkata, “Aku bersumpah demi Allah bahwa kata `keluarga
terdekat’ merujuk kepada kami, dan ayat-ayat tersebut diturunkan
berkenaan dengan kami. (Imam menambahkan), “Dan pernahkah juga kamu
membaca ayat ini dalam Quran dimana Allah berfirman, Wahai Ahlulbait...
(33:33)?” Orang tua itu berkata, “Ya, saya telah membacanya!” Imam
berkata, “Apa yang dimaksud dengan Ahlulbait Nabi? Kamilah yang telah
dihubungkan oleh Allah secara khusus dengan ayat tathhir!”
Orang tua itu berlanya, “Saya bertanya kepadamu, demi Allah, apakah
kamu keluarga yang sama?” Imam menjawab, “Aku bersumpah demi
kakekku Nabi Allah bahwa kamilah orang yang sama!” Orang tua itu
tertegun dan menunjukkan penyesalan atas apa yang telah dia katakan.
Kemudian dia mengangkat kepalanya menuju langit dan berkata, “Ya Allah,
aku mohon ampun atas apa yang telah aku katakan, dan meninggalkan
permusuhan dengan keluarga ini dan membenci musuh-musuh keturunan
Muhammad!”41
Peristiwa Mubahalah
Peristiwa berikut ini dihubungkan dengan kejadian Mubahalah, yang berarti
kutukan, atau memohon kutukan/laknat Allah ditimpakan kepada pendusta, yang terjadi
pada tahun ke 9-10 Hijriah. Dalam tahun itu sebuah delegasi yang terdiri atas 14 pendeta
Kristen datang dari Najran untuk menemui Nabi Muhammad SAW.
Ketika mereka bertemu dengan Nabi Muhammad SAW, mereka menanyakan
pendapat beliau tentang Yesus. Rasulullah SAW berkata, “Kalian bisa beristirahat hari ini
dan kalian akan mendapatkan jawabannya setelah itu.” Pada keesokan harinya, 3 ayat
Quran (Ali lmran : 59-61) tentang Yesus di wahyukan kepada Nabi Muhammad SAW.
Ketika orang-orang Kristen itu tidak menerima kata-kata Allah, Nabi Muhammad SAW
lalu membacakan kalimat terakhir dari ayat-ayat tersebut;
“Maka siapa yang membantahmu tentang masalah ini sesudah datang
kepadamu ilmu, maka katakanlah, “Marilah kita memanggil anak-anak
kami dan anak-anak kalian, perempuan-perempuan kami dan
perempuan-perempuan kalian, diri-diri kami dan diri-diri kalian!
Kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita mohon
agar laknat Allah ditimpakan kepada para pendusta!”
(QS. Ali Imran: 61).
Dalam kejadian ini, Nabi Muhammad SAW menantang orang-orang Kristen.
Pada hari berikutnya pendeta-pendeta Kristen tersebut keluar dari salah satu sisi tanah
lapang. Juga pada sisi yang lain, Nabi Muhammad SAW keluar dari rumah beliau
dengan menggendong Husain di lengan beliau dan Hasan berjalan bersama beliau
dengan tangannya dipegang oleh beliau. Di belakang beliau adalah Fathimah Zahra, dan
di belakang lagi adalah Ali. Ketika orang-orang Kristen itu melihat lima jiwa yang suci
tersebut, dan betapa kukuhnya pendirian Nabi Muhammad SAW untuk membawa
orang-orang terdekat beliau dalam menanggung resiko mubahalah itu, mereka merasa
takjub SAW mengundurkan diri dari mubahalah yang telah disepakati tersebut dan
tunduk kepada sebuah perjanjian dengan Nabi Muhammad SAW.
Suyuthi, seorang ulama besar Sunni, menulis;
“Dalam ayat di atas (3:61), menurut apa yang dikatakan oleh Jabir bin
Abdillah Anshari, kata ‘anak-anak’ merujuk kepada Hasan dan Husain,
kata ‘perempuan-perempuan’ merujuk kepada Fathimah, dan kata ‘diri-
diri kami’ merujuk kepada Nabi dan Ali, Ali dianggap sebagai ‘diri’
Nabi.42
Konsekuensinya, sebagaimana adalah melanggar hukum untuk berusaha
:mengungguli Nabi Muhammad SAW, demikian pula adalah melanggar hukum untuk
menggantikan Ali (yang menurut kata-kata Allah adalah’diri’ Nabi). Siapapun yang
menganggap telah menggantikan Ali berarti telah menggantikan Nabi. Ini merupakan
satu lagi ayat Quran yang membuktikan kebenaran hak Imam Ali sebagai penerus
langsung Nabi Muhammad SAW.
Muslim dan Tirmidzi memberikan konfirmasi atas peristiwa tersebut di atas,
dan mencatat hadis berikut ini dalam kitab Shahih mereka. Diriwayatkan oleh Sa’d bin
Abi Waqqash,
“....dan ketika Ali Imran ayat 61 diturunkan, Nabi Muhammad SAW memanggil
Ali, Fathimah, Hasan dan Husain. Kemudian Nabi berkata, ‘Ya Allah! Inilah
anggota keluargaku (Ahlii).”43
Titik simpul di sini adalah bahwa Rasulullah SAW tidak membawa serta seorang
pun dari istri-istri beliau ke lapangan tempat mubahalah berlangsung, dan menurut hadis
di atas, beliau menggunakan kata Ahl (famili) hanya bagi orang-orang tersebut di atas
(yakni Ali, Fathimah, Hasan danHusain).
Perhatikan bahwa dalam Ali Imran ayat 61 ini Allah SWT menggunakan bentuk
jamak ‘perempuan-perempuan’ dengan perkataan ‘Marilah kita memanggil
perempuan-perempuan kami’, tetapi Nabi Muhammad SAW hanya membawa seorang
perempuan, yakni Fathimah. Seandainya ada lebih dari satu orang dalam Ahlulbait,
maka Nabi Muhammad SAW tentu sudah diminta oleh ayat ini untuk membawa serta
mereka. Tetapi, karena tidak ada perempuan lain dalam Ahlulbait, maka beliau hanya
membawa Fathimah.
Lagi pula, Nabi Muhammad SAW dalam peristiwa itu menyebutkan secara
eksplisit siapa Ahlulbait, dan membacakan namanya satu persatu. Muslim, Tirmidzi,
Hakim dan ulama-ulama Sunni lainnya telah mencatat hal itu dan menegaskan
kesahihannya. Tidak ada disebut satu pun istri beliau dalam laporan-laporan tersebut.
Beberapa ulama Sunni telah meriwayatkan bahwa pada hari perundingan untuk
menunjuk pemegang kekuasaan setelah wafatnya Umar, Ali berdebat dengan anggota-
anggota syura dan mengingatkan mereka akan haknya atas kekhalifahan, dan salah satu
argumentasinya adalah Peristiwa Mubahalah.
Pada hari perundingan, Ali berdebat dengan anggota-anggota komite dengan
mengatakan,
“Aku meminta kesaksian kalian atas nama Allah, adakah seorang pun di antara
kalian yang lebih dekat hubungannya dengan Rasulullah dibandingkan aku? Adakah laki-
laki lain yang Nabi menganggapnya ‘jiwa beliau (sendiri), dan bahwa beliau menganggap
anak-anaknya adalah ‘anak-anak beliau (sendiri), dan perempuannya adalah ‘perempuan
beliau’?” Mereka menjawat` “Tidak, demi Allah!”44
Diriwayatkan juga bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sungguh, Allah
yang memiliki Keagungan dan Kekuasaan telah meletakkan keturunan tiap Nabi dari
tulang sulbi mereka, dan Dia Yang Maha tinggi telah meletakkan keturunanku di
tulang sulbi Ali bin Abi Thalib.”45
Diriwayatkan juga bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Aku dan Ali berasal
dari pohon yang sama, sedangkan orang-orang yang lain berasal dari pohon yang
berbeda.”46
Dalam kitab tafsir Sunni yang lain, diriwayatkan dari Abdullah bin t mar
bahwa Rasulullah SAW bersabda,
“Jika saja ada jiwa-jiwa lain di seluruh bumi yang lebih baik dari Ali,
Fathimah, Hasan dan Husain, Allah tentu sudah memerintahkanku untuk membawa
serta mereka bersama-samaku pada Mubahalah. Tetapi, karena mereka adalah yang
paling utama di antara seluruh manusia dalam hal keutamaan (martabat) dan
kehormatan, Allah telah membatasi pilihan-Nya kepada mereka saja yang ikut serta
dalam Mubahalah.47
Peristiwa Mubahalah antara Nabi Muhammad SAW dan orang-orang kristen
ini memberikan signifikansi dalam berbagai aspek, di antaranya:
1). Bukti ini menjadi sebuah pelajaran bagi seluruh orang Kristen yang ada di
Semenanjung Arabia yang tidak berani lagi bermusuhan dengan Nabi Muhammad
SAW,
2). Undangan untuk mubahalah (maknanya secara harfiah adalah saling mengutuk)
diatur langsung oleh Allah SWT dan dalam rangka memenuhi perintah-Nya lah
Nabi Muhammad SAW bersama sama Ahlulbait beliau datang ke lapangan tempat
mubahalah. Ini menunjukkan bahwa urusan-urusan yang berkaitan dengan
keNabian dan Islam ditetapkan langsung oleh Kehendak Allah,
3). Tanpa mengizinkan adanya pengaruh luar apapun dari orang kebanyakan
(ummah). Masalah kepenggantian (ke-washi-an) Ali setelah Nabi Muhammad
SAW harus dipandang serupa,
4) Tidak diragukan lagi bahwa Ali, Fathimah, Hasan dan Husain pasti mengikuti
ajaran-ajaran Nabi Muhammad SAW,
5) Meskipun masih kanak-kanak, Hasan dan Husain tetap bertindak sebagai ‘dua
rekan’ Nabi Muhammad SAW yang aktif dalam mubahalah. Ini menunjukkan
bahwa usia bukanlah kriteria bagi kebesaran jiwa - jiwa maksum tersebut;
6) Bahwa tindakan pengutamaan oleh Nabi tersebut jelas meninggikan status mereka
(Ahlulbait) di atas orang-orang selain mereka,
7) Hadis-hadis dari Nabi Muhammad SAW yang berhubungan dengan peristiwa ini
jangan jelas menunjukkan siapakah Ahlulbait itu,
8) Ali telah disebutkan sebagai ‘diri’ Nabi Muhammad SAW sesuai dengan wahyu
Allah, dan Ali secara de facto memang lebih unggul dibandingkan dengan yang
lain sehubungan dengan kekhalifahan.
26. Referensi Sunni: Shaih-Turmudzi, jilid 72, ha1.85; Musnad Ahrnad Ibn Hanbal,
jilid 3, hal. 258; al-Mustadrak, Hakim, jilid 3, ha1.158 yang menulis bahwa
hadis ini shahih sesuai dengan kriteria Bukhari dan Muslim (tapi keduanya tidak
melaporkan); Tafsir al-Durr al-Manfsur, Suyuthi, jilid 5, hal. 197, 199; Tafsir,
Ibnu Jarir Thabari, jilid 22, hal. 5,6 (mengatakan ‘selama tujuh bulan’); Tafsir,
Ibnu Katsir, jilid 3, hal. 483; Musnad, Tialasi, jilid 8, hal. 274; Usd al-Ghabah,
Ibnu Atsir, jilid 5, hal. 146.
27. Referensi Sunni: Tafsir al-Durr al-Mantsur, Suyuthi, jilid 5, hal. 198,199;
Tafsir, Ibnu Jarir Thabari, jilid 22, hal. 6; Tafsir Ibnu Katsir, jilid 3, hal. 483;
Dhakha’ir al-Llqbah oleh Muhibuddin Thabari, hal. 24 dari otoritas Anas bin
Malik; Isti’ab oleh Ibnu Abdul Qarr, jilid 5, hal. 637; Usd al-Ghabah oleh Ibnu
Atsir, jilid 5, hal. 146; mazma az’Zawa’id oleh Haitsami, jilid 9, hal. 121, 168;
musykil al-Atsar oleh Tahawi, hal. 338. 28. Referensi Sunni: al-Durr al-
Mantsur, oleh Hafizh Suyuthi, jilid 5, hal. 198.
29. Referensi Sunni: Tafsir al-Durr al-Mantsur, oleh Hafizh Suyuthi, jilid 5, hal.
199; Majma’ az-Zama’id oleh Haitsami, jilid 9, hal. 121, 168.
30. Referensi Sunni: al-Mustadrak, Hakim, jilid 3, hal. 172; Majma’ azZawdid,
Haitsami, jilid 9, hal. 172.
31. Referensi Sunni: Majrna’ az-Zawa’id, Haitsami, jilid 9, hal. 172; Tafsir, Ibnu
Katsir, jilid 3, hal. 486; Riwayat ini juga telah dilaporkan oleh Tabarani dan
yang lainnya.
32. Referensi Sunni: Musykil al-Atsar-, Tahawi, jilid 1, ha1. 336.
33. Referensi Sunni: Musnad, Ahmad bin Hanbal, jilid 6, hal. 298; Tafsir alKabir,
Ibnu Jarir Thabari, jilid 22, hal. 6; Musykil al-Atsar, oleh Tahawi, jilid l, hal.
335.
34. Referensi Sunni: Musnad, Ahmad bin Hanbal, jilid 1, hal. 331 (edisi pertama);
Musnad, Ahmad bin Hanbal, jilid 5 hadis ke 3062 (edisi kedua); al-Khasyaisy,
Nasa’i, hal. 11; ar-Riyadh an-Nadhirah, Mulubuddin Thabari, jilid 2, hal. 269;
majma az-Zawa’id, Haitsami, jilid 9, hal. 119.
35. Referensi Sunni: al-Khasyaisy, Nasa’i, hal. 4; Cerita yang hampir sama dapat
dibaca pada shahih Muslim, versi ini laris, bab CMXCVI (keutamaan Ali), hal.
1284, hadis ke 5.916.
36. Referensi Sunni: Tafsir al-Kabir, Ibnu Jarir Thabari, jilid 22, hat. 7; Tafsir, Ibnu
Katsir, jilid 3, hal. 485; al-Mustadrak, Hakim, jilid 3, hal. 147; Musykil al-Atsar
oleh Tahawi, jilid 1, hal. 336; jilid 2, hal. 33; Tarikh Thabari, versi Arab, jilid 5,
hal. 31.
37. Referensi Sunni: Tafsir, Ibnu Jarir Thabari, jilid 22, hal. 5, tentang ayat 33:33;
Dhakha’ir al-Uqbah, Muhibuddin Thabari, hal. 24; ash-Shawa’iq al-Muhriqah,
Ibnu Hajar, bab 11, bagian l, hal. 221;11-lajma’ az-Zawa’id, Haitsami.
38. Referensi Sunni: Tafsir al-Kabir oleh Ibnu Jarir Thabari, jilid 22, hal. 6; al-
Mustadrak, Hakim, jilid 2, hal. 416; jilid 3, hal. 417; Musnad, Ahmad bin Hanbal,
jilid 6, hal. 107; Majma’az-Zarca’id, Haitsami, jilid 9, ha1.167; Musykil al-Atsar,
Tahawi, jilid l, ha1.346; Sunan, Baihaqi, jilid 2, ha1.152.
39. Referensi Sunni:Usd (71-Ghabnh, Ibnu Atsir, jilid 2, hal. 20.
40. Referensi Sunni: Tafsir al-Kabir, Ibnu Jarir Thabari, jilid 22, hal. 7; Tafsir, Ibnu
Katsir, jilid 3, hal. 486; Tafsir al-Durr al-Mantsur, Hafizh Suyuthi, jilid 5, hal.
199.
41. Referensi Sunni: Maqtal Husain, Khatib Kharazmi.
42. Referensi Sunni: al-Durr al-Mantsur, Hafizh Jalaluddin Suyuthi, jilid 2, hal. 38.
43. Referensi Sunni: Shahih Muslinr, bab Keutamaan Sahabat, bagian keutamaan Ali,
edisi 1980, terbitan Arab Saudi, versi Arabi, jilid 4, hal. 1871, akhir dari hadis ke
32; Shahih at-Turmudzi, jilid 5, hal. 654; al-Mustadrak, Hakim, jilid 3, hal. 150,
yang mengatakan bahwa hadis ini shahih menurut kriteria kedua Syekh (Bukhari
dan Muslim); Dhakha’ir al-Ulqbah, Muhibuddin Thabari, hal. 25.
44. Referensi Sunni: Daruquthni, sebagaimana dikutip oleh Ibnu Hajar Haitsami dalam
ash-Shawa ‘iq al-Muhriqnh, bab 11, bagian ke l, hal. 239.
45. Referensi Sunni: Tabarani; Abul Khair Hakimi, riwayat dari Abbas; ash-
Shawa’iq al-Muhriqah, oleh Ibnu Hajar Haitsami, bab. 11, bagian l, hal. 239;
Kunuz Matalib.
46. Referensi Sunni: ash-Shawa ‘iql al-Muhriqah, Ibnu Hajar Haitsami, bab 9,
bagian 2, hal. 190; Tarikh al-Khulafiaa, oleh Jalaluddin Suyuthi, hal. 171;
Awsath oleh Tabarani, dari Jabir bin Abdillah Anshari.
47. Referensi Sunni: Tafsir, Baidhawi, pada komentar atas ayat 3:61.