Dari perspektif Syi’ah, Imamah (kepemimpinan yang ditunjuk Tuhan) adalah
suatu nikmat Allah SWT kepada manusia yang dengannya agama disempumakan. Allah
SWT yang memiliki Kekuasaan dan Keagungan berfirman,
Pada hari ini telah Kusempumakan untuk kamu agamamu dan
Kecukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi
agama bagimu. (QS. al-Maidah : 3).
Imamah merupakan kelembutan (luthf) yang menarik umat manusia menuju
ketaatan kepada-Nya dan menjauhkan diri mereka dari kedurhakaan kepada-Nya, tanpa
memaksa mereka dengan cara apapun. Ketika Allah SWT memerintahkan manusia untuk
melakukan sesuatu padahal Dia mengetahui bahwa mereka tidak bisa melakukannya atau
sangatlah sulit bagi mereka untuk melakukannya tanpa bantuan-Nya, maka seandainya
Allah SWT tidak memberikan pertolongan-Nya, niscaya Dia menentang tujuan-Nya
sendiri. Secara gamblang, pengabaian seperti ini buruk munurut akal. Karena itu, lutbf
merupakan salah satu karakter Allah, dan Dia disucikan/dimuliakan dari kekurangan
sifat semacam itu. Nyatanya, Quran suei menyatakan, Allah Maha lembut terhadap
hamba-hamba-Nya... (QS. asy-Syura : 19).
Dan, dalam ayat-ayat lain Yang Maha Kuasa menggunakan kata Maha Lembut
(luthf) dalam kitab-Nya. Lihat misalnya, al-An’am :103; Yusuf: 100; al-Hajj : 63;
Luqman :16; al-Ahzab : 34; asy-Syura : 19; al-Mulk : 14, dan seterusnya.
Para utusan Tuhan diamanati tanggung jawab membawakan perintah-perintah
baru dari Allah SWT kepada manusia. Mereka adalah para pemberi peringatan
sebagaimana yang Quran katakan. Bagaimanapun, sebagian dari para Rasul adalah juga
para imam. Para penerus utusan Allah terakhir (Muhammad) bukan para Rasul/Nabi,
dan karena itu mereka tidak membawa risalah baru apapun ataupun mereka menunda
setiap peraturan yang ditetapkan oleh Nabi SAW. Mereka hanya berperan sebagai
pembimbing dan penjaga agama. Misi mereka adalah untuk menjelaskan,
mengelaborasi syariah (hukum Allah) kepada umat manusia. Mereka menjabarkan
perkara-perkara yang membingungkan dan kejadiankejadian yang mungkin terjadi di
setiap kurun. Mereka pun hanyalah orang-orang yang memiliki pengetahuan penuh
akan Quran dan Sunnah dari Nabi Muhammad SAW setelahnya, dan karena itu, mereka
satu-satunya orang-orang yang memiliki kualifikasi yang bisa menafsirkan ayat-ayat
Quran suci dengan benar dan menguraikan pengertiannya, sebagaimana disebutkan
dalam Quran itu sendiri (lihat Ali Imran : 7 dan al-Anbiya : 7).
Imamah merupakan nikmat besar dari Allah SWT, karena ketika umat manusia
mempunyai seorang pemimpin saleh dan bertakwa yang memandu mereka, mereka bisa
lebih dekat kepada kebajikan dam jauh dari penyimpangan dan penyelewengan dalam
masalah agama. Seorang imam yang ditunjuk Tuhan juga merupakan pribadi yang
paling bertanggung untuk mengatur sebagai pemimpin masyarakat yang bisa
memelihara keadilan dan memberangus penindasan. Sudah barang tentu, manusia telah
diberi kebebasan kehendak dan bisa menolak imam, namun mereka akan dimintai
pertanggungjawaban atas hal itu, sebagaimana halnya dalam kasus Nabi. Namun
demikian, imam akan tetap sebagai bukti Allah (hujjatullah) di muka bumi dan
sebagai pemimpin spiritual bagi orang-orang yang beriman di antara manusia yang
mendapatkan manfaat dari bimbingannya.
Superioritas dan Kemaksuman Imam
Umat Syi’ah percaya bahwa seperti halnya para Nabi, seorang imam yang
ditunjuk Tuhan harus mengungguli masyarakat dalam semua kebajikan, seperti dalam
pengetahuan, keberanian, kesalehan, dan harus mempunyai pengetahuan yang penuh
akan hukum ilahi. Apabila tidak demikian, dan Allah SWT mengamanatkan kedudukan
tinggi ini kepada seorang pribadi yang kurang sempurna ketika ada seorang pribadi
yang lebih sempurna, maka secara rasional itu salah dan bertentangan dengan keadilan
ilahi. Oleh sebab itu, tak ada orang yang lebih rendah bisa menerima Imamah dari Allah
SWT ketika ada orang yang lebih unggul daripadanya.
Andaikata seorang pemimpin yang ditunjuk Tuhan tidak maksum, niscaya ia
harus bertanggung jawab kepada kesalahan-kesalahan dan menyesatkan orang lain juga.
Dalam kasus seperti itu, tak ada kepercayaan yang implisit yang bisa digantikan dalam
ucapan-ucapan/perintah-perintah/perbuatan-perbuatan. Seorang imam yang ditunjuk
Tuhan adalah orang yang paling bertanggung jawab untuk mengatur sebagai pemimpin
masyarakat, dan orang-orang diharapkan untuk mengikutinya dalam setiap masalah.
Sekarang apabila ia melakukan sebuah dosa, niscaya orang-orang akan terikat
mengikutinya dalam dosa itu juga, karena kebodohan mereka tentang apakah perbuatan
itu termasuk dosa ataukah tidak (ingat asumsi bahwa imam adalah paling
berpengetahuan dalam komunitas ini). Situasi seperti ini tidak bisa diterima oleh
kemahalembutan Allah SWT karena ketaatan dalam dosa merupakan kejahatan, tidak
sah, dan terlarang. Selain itu ia akan berarti bahwa pemimpin harus ditaati dan
didurhakai pada waktu yang bersamaaan, yakni ketaatan kepadanya adalah wajib
namun terlarang yang secara jelas merupakan sebuah kontradiksi dan tidak terpuji.
Selain itu, sekiranya mungkin bagi seorang imam untuk berbuat dusa, merupakan
suatu kewajiban bagi orang lain untuk mencegahnya dari melakukan demikian (karena
setiap Muslim diwajibkan untuk mencegah orang lain dari perbuatan keharaman). Dalam
kasus seperti itu, imam akan dibenci, dan alih-alih pemimpin masyarakat, ia akan
menjadi para pengikut mereka, dan kepemimpinannya tidak akan ada faedahnya sejauh
agama diperhatikan.
Imam adalah pembela hukum Tuhan, dan kerja ini tidak bisa dipercayakan
kepada tangan-tangan yang berdosa, ataupun setiap orang bisa menjaga tugas ini secara
tepat. Dengan demikian, kemaksuman merupakan syarat penting bagi seorang imam
ataupun khalifah yang ditunjuk Tuhan yang merupakan penjaga atau penafsir dari
hukumhukum agama. Allah Yang Maha Mulia berfirman, Wahai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dau taatilah Rasul dan orang-orang yang punya otoritas
(ulil amri) di antara kalian. (QS. an-Nisa : 59).
Ayat ini menitahkan kepada kaum Muslim untuk menaati dua hal pertama,
menaati Allah, kedua menaati Rasul dan orang-orang yang diberi otoritas (ulil amri).
Penyusunan kata-kata tersebut memperlihatkan bahwa ketaatan kepada ulil amri adalah
sewajib ketaatan kepada Rasul karena Quran menggunakan hanya satu kata kerja untuk
keduanya tanpa mengulang kata kerja itu lagi. Sudah tentu, itu artinya bahwa Ulil Amri
sama pentingnya dengan dengan Rasul, jika tidak tentunya Allah SWT tidak akan
menggabungkan mereka dalam ayat ini (waw dari athf) di bawah satu kata kerja.
Menarik untuk diperhatikan bahwa Allah SWT menggunakan satu kata kerja yang
terpisah bagi Diri-Nya sendiri sebelum menyebutkan Rasul dan Ulil Amri yang
memperlihatkan bahwa Allah SWT mempunyai kekuasaan yang lebih tinggi ketimbang
otoritas yang dimiliki Rasul dan Ulil Amri.
Adalah jelas juga dari ayat di atas bahwa Ulil Amri tidak terbatas pada para
Rasul, jika tidak tentunya Allah SWT hanya akan mengatakan, “Taatilah Allah dan taat
hanya kepada Rasul.” Akan tetapi ia menambahkan Ulil Amri (orang-orang yang diberi
otoritas oleh Allah). Ini merupakan salah satu tempat dimana konsep para imam dan
kebutuhan akan ketaatan kepada mereka bersumber.
Dalam bahasan sebelumnya tentang kemaksuman para Nabi, kita menukil banyak
ayat Quran guna membuktikan kemaksuman Nabi SAW. Segala ayat tersebut
membuktikan dua noktah berikut. Pertama, otoritas Rasulullah SAW atas orang-orang
beriman tidaklah terbatas dan serbamencakup. Setiap perintah yang dikeluarkan olehnya,
di bawah kondisi apapun, di setiap tempat, di setiap waktu, (mesti) dipatuhi tanpa syarat.
Kedua, otoritas tertinggi diberikan kepadanya karena beliau maksum dan terbebas dari
segala jenis kesalahan dan dosa. Jika tidak, niscaya Allah Rasul Allah tidak akan
memerintahkan kepada kita untuk menaatinya tanpa pertanyaan dan keraguan.
Dalam artikel tersebut, kami juga memberikan Rujukan sebuah hadis dari Shahih
Bukhari yang membuktikan bahwa baik Nabi maupun para khalifah yang ditunjuk Tuhan
sama-sama maksum.
Demikian pula dari ayat 59 Surah an-Nisa kita simpulkan bahwa Ulil Amri
diberikan otoritas atas kaum Muslim yang sama persis dengan otoritas yang dimiliki
Rasul, dan bahwa ketaatan kepada Ulil Amri mempunyai kedudukan yang sama dengan
ketaatan kepada Rasul.
Tentu saja ini artinya bahwa Ulil Amri mestilah maksum dan terbebas dari segala
jenis kesalahan. Jika tidak, ketaatan kepada mereka niscaya tidak dibarengkan dengan
ketaatan kepada Nabi dan tanpa syarat apapun. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib
berkata, “Sesiapa yang mendurhakai Allah, tidak boleh ditaati,” dan “Sesungguhnya
ketaatan adalah untuk Allah dan Rasul-Nya dan orang-orang yang diberi otoritas.
Sesungguhnya Allah SWT memerintahkan manusia untuk menaati Rasul karena
beliau adalah maksum dan suci, yang tidak akan menitahkan kepada manusia untuk
memaksiati Allah SWT, dan sesungguhnya Dia memerintahkan (manusia) untuk menaati
orang-orang yang diberi otoritas (Ulil Amri) lantaran mereka adalah maksum dan suci,
dan tidak akan mrnyuruh manusia untuk mendurhakai Allah.”1
Apakah Ulil Amri Berarti Penguasa-penguasa Muslim?
Kebanyakan saudara kita kaum Sunni cenderung menafsirkan ulil arnri minkum
sebagai penguasa-penguasa di antara kita sendiri yakni penguasa-penguasa Muslim.
Penafsiran ini tidak berasaskan pada penalaran logika/Qurani manapun. Ia melulu
didasarkan pada putaran sejarah. Mayoritas Muslimin telah menetapkannya sebagai
pembantu raja dan penguasa dalam menafsirkan dan menafsirkan ulang Islam dan Quran
guna memperkukuh kerajaan mereka sendiri.
Sejarah kaum Muslim (sebagaimana halnya bangsa-bangsa lain) disarati dengan
nama-nama para penguasa yang kezaliman, kejahatan, dan tirani mereka telah menodai
citra Islam. Penguasa-penguasa semacam itu ada dan akan senantiasa ada. Dan kita
diberitahu bahwasanya mereka adalah ulil amri yang disebutkan dalam ayat ini!
Bila saja Allah SWT benar-benar memerintahkan para raja dan penguasa seperti
itu, sebuah situasi mustahil akan diciptakan bagi segenap Muslimin. Para pengikut yang
jahat akan disalahkan hingga sampai pada ketidakridhaan Allah SWT, tak peduli apa
yang mereka kerjakan. Jika mereka menaati para penguasa ini, mereka telah memaksiati
perintah Allah SWT, Janganlah kamu ikuti orang yang berdosa (QS. al-Insan : 24).
Dan apabila mereka mendurhakai penguasa-penguasa itu, sekali lagi mereka telah
mendurhakai perintah Allah SWT, ‘taatilah penguasa-penguasa Muslim’ (jika artinya
demikian). Oleh sebab itu, jika kita menerima penafsiran ini, kaum Muslim dikutuk
sampai kepada kehinaan abadi entah mereka menaati ataukah mendurhakai para penguasa
Muslim yang berdosa.
Demikian pula, ada pula penguasa-penguasa Muslim dari berbagai aliran dan
mazhab. Mereka ini adalah Syafi’iyah, Hanbaliyah, Malikiyyah, Hanafiyyah, juga
Syi’ah dan Ibadiyah. Sekarang, menurut penafsiran ini kaum Sunni berada di bawah
seorang raja Ibadiyah (seperti di Yaman) yang harus menaati ajaran-ajaran Ibadiyah, dan
mereka yang menetap di bawah seorang penguasa Syi’ah (seperti Iran) haruslah
mengikuti keyakinan – keyakinan. Apakah orang-orang ini memiliki keyakinan
keberanian untuk mengikuti tafsiran yang diakui mereka hingga akibat logisnya?
Ulama Sunni terkenal, Fakhrurrazi, menyimpulkan dalam Tafsir alf\abir bahwa
ayat ini membuktikan ulil amri itu pastilah maksum adanya. Ia berargumentasi bahwa
Allah SWT telah memerintahkan kepada manusia vmtuk menaati Ulil Amri tanpa syarat.
Karena itu, mestilah Ulil Amri itu maksum. Seandainya ada kementakan (possibility)
bagi mereka untuk melakukan dosa (dosa itu terlarang), itu berarti orang harus mematuhi
nureka dan juga mendurhakai mereka dalam perbuatan tersebut. Dan ini, adalah hal yang
mustahil. Akan tetapi, untuk merintangi para pembacanya dari Ahlulbait, Fakhrurrazi
menemukan teori bahwa masyarakat Muslim secara keseluruhan adalah maksum!2
Tafsiran ini sesungguhnya terasa unik, dan tak seorang ulama Muslim Eum
bersandar pada teori ini dan ia tidak berdasarkan pada hadis apapun. Sangat mengejutkan
bahwa Fakhrurrazi mengakui setiap individu dari bangsa Muslim tidak maksum, namun
mengklaim bahwa mereka semua adalah maksum. Bahkan seorang pelajar tingkat dasar
pun mengetahui bahwa 200 ekor sapi ditambah 200 ekor sapi menjadi 400 ekor sapi dan
hukan seekor kuda. Namun Fakhrurrazi mengatakan bahwa 70 juta orang lidak maksum
ditambah 70 juta orang tidak maksum menjadi satu orang maksum! Apakah ia
menghendaki kita untuk percaya bahwa apabila semua pasien dari rumah sakit jiwa
bersatu padu, maka mereka menjadi setara dengan satu orang yang sehat jiwanya?
Nyatalah, dengan pengetahuan Qurannya yang mumpuni, ia mampu untuk
menyimpulkan Ulil Amri haruslah maksum. Namun ia tidak urung untuk melihat bahwa
ayat itu mengandung kata minkum (dari kalian) yang menunjukkan bahwa ulil amri
haruslah menjadi bagian dari masyarakat Muslim, bukan seluruh bangsa Muslim. Selain
itu, jika seluruh bangsa Muslim ditaati, lantas siapa subjek yang menaati mereka?
Selain itu, seluruh masyarakat belum pernah memiliki satu suara yang tunggal
lantas, siapakah yang harus kita ikuti di antara mereka?
Demikian pula, opini mayoritas bukanlah suatu tolak ukur yang baik untuk
membedakan kebatilan dari kebenaran. Tengoklah Quran, siapapun bisa melihat bahwa
Quran secara tajam menyatakan mayoritas manusia dengan kerap menyebutkan bahwa
‘kebanyakan tidak memahami’, `kebanyakan tidak menggunakan logika mereka’,
‘kebanyakan mengikuti hawa nafsu mereka’, karena pandangan mayoritas manusia
senantiasa terhalangi karena kecenderungan mereka. (Lihat misalnya Surah al-An’arn:
116, al-Maidah : 49; Yunus: 92; al-Rum : 8)
Makna Hakiki Ulil Amri
Sekarang kita kembali pada tafsiran yang benar dari ayat di atas, yakni
penafsiran ayat itu oleh Ahlulbait. Imam Ja’far Shadiq mengatakan bahwa ayat ini
diturunkan berkenaan dengan Ali, Hasan dan Husain salam atas mereka semua. Setelah
mendengarkan penafsiran ini, seseorang bertanya kepada Imam, “Orang-orang
bertanya, mengapa Allah tidak menyebutkan nama Ali dan keluarganya dalam kitab-
Nya?”
Imam menjawab, “Katakan kepada mereka bahwa telah turun perintah salat,
namun Allah tidak menyebutkan apakah tiga ataukah empat rakaat. Rasulullah-lah yang
menjelaskan segala rinciannya. Dan (perintah membayar) zakat diturunkan, namun
Allah tidak mengatakan bahwa ia merupakan dalam setiap empat puluh dirham adalah
Rasulullah yang menjabarkannya, dan haji (berziarah ke Mekkah) diperintahkan namun
Allah tidak mengatakan cara melakukan thazvaf (mengelilingi Ka’bah) tujuh kali
adalah Rasulullah yang menguraikan. Demikian pula ayat yang diturunkan berikut,
Taatilah Allah dan taatilah Rasul dan orang-orang yang diberi otoritas di antara kalia
dan itu diturunkan sekaitan dengan Ali, Hasan dan Husain (yang merupakan para imam
yang sezaman dengan Nabi).”
Adalah sangat jelas bahwa sekiranya Allah SWT menyebutkan nama Imam Ali
dalam Quran secara eksplisit, niscaya orang-orang yang memikul gunung kebencian
terhadapnya berusaha untuk mengubah Quran. Jadi, ini merupkan kelembutan Allah
SWT dimana Dia menaati semua cabang ilmu agama dalam Quran untuk dipahami
hanya oleh prosesor-prosesor dari minda pemahaman. Dengan cara ini, Allah SWT
memelihara Quran secara sempurna.
Tentang penafsiran ayat 59 Surah an-Nisa dimana Allah SWT wcmerintahkan
kita untuk menaati Ulil Amri, Khazzaz dalam Kifayat al-Atsar-Nya, mencantumkan
sebuah hadis berdasarkan otoritas sahabat Nabi SAW yang tersohor, Jabir bin Abdillah
Anshari. Ketika ayat tersebut (an-Nisa : 59) diturunkan, Jabir bertanya kepada Nabi
SAW, “Kami tahu Allah dan Nabi, namun siapakah mereka yang diberi otoritas yang
ketaatannya nlah digabungkan dengan ketaatan kepada Allah dan dirimu sendiri?” Nabi
SAW berkata, “Mereka para khalifahku dan imam bagi kaum Muslim sepeninggalku.
Yang pertama dari mereka adalah Ali, kemudian Hasan hin Ali, kemudian Husain bin
Ali, kemudian Ali bin Husain, kemudian Muhammad bin Ali yang telah disebut al-
Baqir dalam Taurat (Perjanjian Iama). Wahai Jabir! Engkau akan menemuinya. Apabila
engkau menemuinya, sampaikanlah salamku kepadanya! Ia akan digantikan
(kedudukannya) oleh putranya, Jafar Shadiq, kemudian Musa bin Jafar, kemudian Ali
bin Musa, kemudian Muhammad bin Ali, kemudian Ali bin Muhammad, Hasan bin Ali.
Ia akan disusul oleh putranya, yang nama dan julukannya akan berada sama dengan
julukanku. Dialah Bukti Allah (hujjatullah) di muka bumi dan orang yang dibakakan
oleh Allah (Baqiyatullah) untuk memelihara akar keimanan di antara manusia. Dia
akan menaklukkan seluruh dunia dari timur hingga barat. Sedemikian lama ia akan
menghilang dari pandangan para pengikut dan sahabatnya sehingga keyakinan akan
kepemimpinannya hanya akan bersemayam di hati-hati orang-orang yang telah diuji
keimanannya oleh Allah.”
Jabir bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah para pengikutnya akan mendapatkan
faedah dari kegaibannya?” Nabi SAW menjawab, “Benar! Demi Dia yang mengutusku
dengan keNabian! Mereka akan diberi petunjuk dengan cahayanya, dan mendapatkan
manfaat dari kepemimpinannya wlama kegaibannya, sebagaimana manusia
mendapatkan manfaat dari kepemimpinannya selama kagaibannya, sebagaimana
manusia mendapatkan manfaat dari di balik awan. Wahai Jabir, inilali rahasia Allah
yang tersembunyi dan khazanah pengetahuan Allah. Maka jagalah ia kecuali dari
orang-orang yang berhak untuk menerimanya!”
Sekarang kita mafhum siapakah’orang-orang yang diberi otoritas’. Ia
merupakan bukti bahwa persoalan menaati para penguasa yang tiran dan zalim tidak
muncul sama sekali. Dengan ayat di atas (dalam tafsiran Imam Ja’far tadi) kaum
Muslim tidak perlu menaati para penguasa yang zalim, tiranik, jahil, egois, dan
tenggelam dalam hawa nafsu. Sesungguhnya, mereka (kaum Muslim) diperintahkan
untuk menaati dua belas imam yang ditentukan, yang mereka semua itu maksum dan
bebas dari pemikiran dan perbuatan buruk. Menaati mereka tidak punya resiko apapun.
Bahkan, ketaatan kepada mereka menjaga dari semua resiko; karena mereka tidak akan
pernah memberikan sebuah perintah yang berlawanan dengan titah Allah SWT dan
akan memperlakukan semua manusia dengan cinta, keadilan, dan persamaan.