Salah seorang guru besar dan intelektual Saudi Arabia yang benama Prof. Khalid ad-Dakhil dalam sebuah penelitian yang menggunakan keturunan keluarga Saudi dan ideologi Wahabisme sebagai obyek penelitiannya untuk menetapkan bahwa kekuasaan tanpa batas waktu dan yang berjalan secara turun temurun dari keluarga Saud itu pada awalnya memiliki tujuan politis, memisahkan diri dari kekhalifahan Usmani yang Ahlusunah.
Profesor yang lahir dan dibesarkan di Saudi Arabia itu menyatakan bahwa para mufti Wahaby-lah yang memiliki peran penting dan utama dalam mengontrol segala sesuatunya, termasuk berkaitan dengan penentuan kebijakan negara. Dengan dipengaruhi pemikiran dan ajaran Muhammad bin Abdul Wahab (pendiri Wahabisme) yang hidup pada abad ke-18, wahabisme terbentuk. Itulah yang menjadi penyebab terwujudnya ekstrimisme dalam tubuh Islam. Banyak hal yang telah diharamkan oleh mereka, hingga pelaksanaan shalat berjamaah pun diterapkan secara paksa oleh para ulama Wahabi terhadap setiap anggota masyarakat.
Sang profesor yang dibesarkan di kalangan masyarakat Wahabi tadi akhirnya bertanya-tanya, dari manakah gerangan asal-usulnya sehingga Wahabisme bisa menjadi ideologi negara itu dan dari mana para ulama tadi mendapat pengaruh begitu besar semacam itu?
Setelah menyelesaikan penelitian desertasi doktoralnya, iapun akhirnya telah mendapat jawaban dari teka-teki pertanyaan-pertayaan tersebut. Secara terperinci ia menjelaskan bahwa ulama-ulama tadi mendapat pengaruh dari Muhammad bin Abdul Wahab, pendiri sekte Wahaby. Muhammad bin Abdul Wahab seorang rohaniawan garis keras yang telah memperoleh pengaruh besar hasil dukungan pendiri kerajaan keluarga Saudi kala itu (Muhammad bin Saud), di permulaan berdirinya dinasti tersebut. Persatuan antara keluarga penguasa dengan keluarga rohaniawan itu berkelanjutan hingga kini. Dari situ akhirnya Wahabisme -yang menolak keyakinan ajaran lain- mendapat kepercayaan untuk menyebarkan ajaran Islam yang menyimpang tadi di berbagai sekolah-sekolah dan masjid-masjid yang berada di wilayah Saudi Arabia. Hingga sekarang, penguasa keluarga Saud telah menghadiahkan otoritas pengurusan tempat-tempat suci dan bersejarah kepada para rohaniawan Wahaby tersebut.
Prof ad-Dakhil menunjukkan pendapat barunya tentang posisi resmi tentang gerakan wahabisme yang berakhir pada melemahnya kekuatan para rohaniawan tadi. Beliau berpendapat bahwa Muhammad bin Abdul Wahab dalam hal politik pun ia sangat getol sebagaimana kegetolannya dalam menyebarkan ajaran wahabismenya. Melalui sarana pertentangan mazhab yang bertujuan politis itulah ia memanfaatkannya untuk membentuk sebuah negara di pusat wilayah Arab yang terbentuk dari berbagai keamiran kecil yang saat itu dikuasai oleh kekhilafahan daulah Usmani.
Segala usaha Prof ad-Dakhil akhirnya menghasilkan beberapa artikel yang ditulis pada bulan November dan Disember. Ini merupakan jerih payah seorang ilmuwan Saudi dalam meneliti kembali sisi-sisi keagamaan negaranya yang mendasari terbentuknya kerajaan Saudi Arabia.
Dengan melihat berbagai standart yang dimiliki oleh kaum muslimin (Ahlusunah) pada saat awal berdirinya kerajaan Saudi, Muhammad bin Abdul Wahab telah menafsirkan sendiri ajaran Islam secara radikal (ekstrim) terkhusus dalam masalah Jihad. Jihad diartikan sebagai peperangan sakral dan yang lantas ia gunakan sebagai alat untuk membentuk negara klan Saudi yang berserikat. Dan masyarakat pun dipaksa untuk menyetujui ide politisnya yang dibalut dalil-dalil teks agama yang ditafsirkan secara serampangan.
Muhammad bin Abdul Wahab menghukum orang-orang yang tidak sepaham dan tidak menyetujui penafsirannya. Bahkan ia menganggap dan menvonis para amir (pemimpin) -sebuah daerah yang ditunjuk oleh Daulah Usmani- yang tidak menyetujui pola pikirnya sebagai pengkhianat. Pemahaman-pemahaman semacamlah ini yang akhirnya dimanfaatkan oleh keluarga Saud untuk menyusun sebuah doktrin baru, guna membentuk kerajaan Saudi di dataran Arab. Semua doktrin Wahabisme tersebut selalu dipakai untuk mendampingi dan menyokong keluarga kerajaan Saudi. Akan tetapi, pada saat kemunculan kelompok-kelompok bersenjata seperti al-Qaedah di dataran Arab Saudi yang juga memiliki background Wahabisme maka pihak kerajaan pun akhirnya menganggapnya sebagai sebuah bentuk pengkhianatan dan menyatakan bahwa kelompok tersebut harus diperangi dan dibasmi.
Walaupun semenjak tahun 2005 setelah tampuk kepemimpinan di pegang oleh raja Abdullah mass media Saudi Arabia telah membuka kebebasan press lebih dibanding zaman sebelumnya, namun, walau begitu, hingga kini masih ada dua hal yang tetap tergolong hal terlarang untuk di kotak-katik:
Pertama: Legalitas mazhab resmi negara tersebut (Wahabisme).
Kedua: Tahta kerajaan yang bersifat keturunan (Dinasti).
Robert Leisi seorang sejarawan Inggris yang mengarang buku berjudul “Kerajaan; Arab dan Istana Saud” mengatakan: “Tujuan keagamaan negara Saudi selalu berada di atas satu pertanyaan”. Ia menambahkan: “Perkara ini merupakan pondasi semua keyakinan yang dimiliki oleh negara itu. Selain dari perkara ini telah banyak disinggung oleh berbagai peneliti. Mempertanyakan kembali pondasi legalitas keluarga Saud berarti sama halnya dengan menyatakan bahwa nenek moyang mereka adalah orang-orang ateis (tidak beragama)”. Tentu dengan itu mereka akan tersingung berat.
Tersebarnya dua bagian pertama makalahnya menyebabkan munculnya berbagai kritikan tajam dan serangan yang dilancarkan oleh pihak-pihak mass media Saudi Arabia.
Pada bulan Oktober, setelah pihak keluarga kerajaan Saudi mengumumkan dibentuknya sebuah majlis permusyawaratan yang terdiri dari para petinggi negara yang bertujuan untuk melegalisir pemerintahan keluarga -yang didapat secara warisan- dengan cara proses pemilihan. System warisan kekuasaan keluarga pun akhirnya mendapat kritik tajam. Masalah ini selalu dipertanyakan semenjak zaman kekuasaan Abdul Aziz bin Saud yang berhasil menundukkan penguasa-penguasa lokal (setempat) pada tahun 1932 hingga sekarang dimana kekuasaan berada di tangan Abdullah sebagai raja kelima yang menduduki kursi kerajaan.
Prof ad-Dakhil yang hingga kini masih tetap tinggal di rumahnya yang berdekatan dengan universitas Malik Saud dan masih aktif mengajar di Universitas tersebut mengatakan; dirinya telah membahas satu permasalahan sensitif yang itu dianggapnya sebagai tugas dia sebagai seorang dosen dan ilmuan yang dituntut untuk konsis terhadap segala tugas kerjanya.
Setelah adanya pembredelan beberapa artikel yang sempat ditulis dalam Koran “al-Hayat”, beliau bekerjasama dengan sebuah Koran Emarat dan web site yang dijalankan dari London. Walaupun beberapa topik dapat diakses di “Saudi Debate” dan mass media Saudi pun telah tersebar, namun hingga saat ini beberapa orang yang melalui batasan jalur merah (larangan) tadi tidak dapat melakukan aktifitasnya di chanel-chanel parabola Saudi Arabia yang terhitung sebagai media terbesar di negara-negara Arab.
Pada tahun 2004 sebuah undang-undang telah disetujui dimana kritik terhadap kebijakan dan praktik politik pemerintah Saudi yang dilontarkan oleh pihak pegawai negari Arab Saudi seperti Prof ad-Dakhil yang menjadi dosen pada universitas negeri dapat dikategorikan sebagai suatu tindak kriminal. Atas dasar itu sang profesor akhirnya mengirim artikel-artikelnya kepada “New York Times” sehingga kumpulan artikel kritisi gerakan Wahabisme tersebut disebarluaskan melalui mass media itu.
Jadi Ideologi Wahabisme yang mengaku hendak menyelamatkan wilayah yang ada dari penyelewengan agama, prilaku syirik dan khurafat, namun bedasarkan penelitian sang Profesor, semenjak berdirinya wahabisme hingga kini tidak terjadi perubahan yang berarti terhadap akidah masyarakat, dan pada saat awal kemunculannya tidak ada satupun berhala yang diklaim akan dibasmi.
Profesor ad-Dakhil dalam karyanya yang berjudul “Mengenal Wahabisme” -yang tahun ini hendak dicetak oleh Universitas Misigon- menyatakan bahwa; tujuan utama Muhammad bin Abdul Wahab adalah membentuk negara yang kuat sehingga mampu menghapus segala bentuk perbedaan kabilah. Untuk mewujudkan hal tersebut ia melihat bahwa Muhammad bin Saud -pendiri Arab Saudi- layak untuk dijadikan patner kerjanya.
Profesor ad-Dakhil melihat bahwa masjid merupakan salah satu poin utama dalam usaha menampakkan kekuatan mereka. Pengumandangkan azan dan pemaksaan segenap orang untuk melakukan shalat berjamaah merupakan simbol dan bukti akan kepemilikan dan kekuasaan mereka atas masyarakat. Muhammad bin Abdul Wahab menvonis penduduk desa-desa yang menolak untuk bergabung dengan negara Saudi sebagai orang-orang murtad (keluar dari Islam .red). Prof ad-Dakhil menambahkan bahwa mazhab (Wahabisme) merupakan sarana praktis yaang relatif kuat, sehingga hal tersebut dapat dijadikan tolok ukur untuk menilai seorang muslim dinilai sebagai muslim yang baik dan taat adalah dengan melihat adakah ia ukur mengikuti segala ajaran-ajaran mereka (Wahabisme) ataukah tidak. Ini merupakan doktrin yang murni politis namun berkedok agamis, kata Profesor ad-Dakhil.