LASKAR HAIDAR

Your description goes here

  • RSS
  • Delicious
  • Facebook
  • Twitter

Popular Posts

Hello world!
Righteous Kill
Quisque sed felis

بسم الله الرحمن الرحيم

و الصلاة و السلام على محمد و آل محمد

السلام عليكم و رحمة الله تعالى و بركاته



اَعْظَمَ اللهُ اُجُورَنابِمُصابِنا بِالْحُسَيْنِ عَلَيْهِ السَّلامُ

وَجَعَلَنا وَاِيّاكُمْ مِنَ الطّالِبينَ بِثارِهِ مَعَ وَلِيِّهِ الاِْمامِ الْمَهْدِيِّ

مِنْ آلِ مُحَمَّدعَلَيْهِمُ السَّلامُ









Laa fataa illa 'ali laa saif illaa dzulfiqaar

About Me

Foto saya
Bandung, Jawa Barat, Indonesia

Blog Archive

Thumbnail Recent Post

Total Tayangan Halaman




Daftar Blog Saya

Entri Populer

Righteous Kill

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Quisque sed felis. Aliquam sit amet felis. Mauris semper, velit semper laoreet dictum, quam diam dictum urna, nec placerat elit nisl in ...

Quisque sed felis

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Quisque sed felis. Aliquam sit amet felis. Mauris semper, velit semper laoreet dictum, quam diam dictum urna, nec placerat elit nisl in ...

Etiam augue pede, molestie eget.

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Quisque sed felis. Aliquam sit amet felis. Mauris semper, velit semper laoreet dictum, quam diam dictum urna, nec placerat elit nisl in ...

Hellgate is back

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Quisque sed felis. Aliquam sit amet felis. Mauris semper, velit semper laoreet dictum, quam diam dictum urna, nec placerat elit ...

Post with links

This is the web2feel wordpress theme demo site. You have come here from our home page. Explore the Theme preview and inorder to RETURN to the web2feel home page CLICK ...


السَّلاَمُ عَلَى الْحُسَيْنِ وَ عَلَى عَلِيِّ بْنِ الْحُسَيْنِ وَ عَلَى أَوْلاَدِ الْحُسَيْنِ وَ عَلَى أَصْحَابِ الْحُسَيْنِ

Archive for Januari 2011

Sejarah dapat diumpamakan seperti samudera besar. Di samudera besar itu penuh dengan fenomena dan goncangan-goncangan yang dilalui ummat manusia di masa lalu. Salah satu goncangan besar yang tercantum dalam sejarah manusia adalah peristiwa Karbala. Hampir 14 abad lalu, tragedi Karbala telah berlalu, namun pengaruhnya tetap berlanjut hingga kini.

Dalam peradaban ummat Islam, kebangkitan Imam Husein as di Karbala merupakan kisah hero dan patriotis yang abadi. Rasulullah diutus di muka bumi ini untuk memberikan pencerahan ummat manusia, sedangkan Imam Husein as gugur syahid di Karbala untuk melanggengkan ajaran Islam dan membimbing manusia di jalan yang lurus. Terkait hal ini, sabda historis Rasulullah Saww terkait Imam Husein, menemukan makna sebenarnya. Rasulullah bersabda, “Husein dariku dan aku dari Husein as.”

Bersamaan dengan gugurnya Imam Husein as, peristiwa itu tersebar dengan cepat di kalangan ummat Islam. Bani Ummayah yang merupakan dalang di balik pembantaian terhadap cucu kesayangan Rasulullah Saww, mengerahkan kroni-kroninya untuk menyimpangkan peristiwa sebenarnya. Para ahli mimbar pun dikerahkan menyudutkan para pejuang anti-Yazid. Namun upaya itu ternyata gagal. Peristiwa Karbala sama sekali tidak dapat disimpangkan. Penguasa saat itu pun menyadari bahwa hati masyarakat bersama Imam Husein as. Masyarakat Irak dan Madinah merasa bersalah dengan membiarkan Imam Husein as dibantai di bumi Karbala. Mereka pun terpanggil untuk membalas kezaliman dinasti Bani Ummayah yang saat itu dipimpin Yazid. Pengorbanan Imam Husein as malah menjadi awal pergerakan anti-kezaliman.

Abul Aswad Al-Duali yang disebut-sebut sebagai penggagas ilmu nahwu, setiap kali menyebut dan mengingat Imam Husein as dan Karbala membaca surat Al-A’raf ayat 23. Ayat itu menyebutkan, “Keduanya berkata; Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.”

Tragedi Karbala kini menjadi bagian sejarah yang tidak akan terlupakan bagi manusia. Para cendekiawan dan ulama sama sekali tidak dapat mengabaikan perjuangan besar Imam Husein as dalam menghadapi kezaliman saat itu. Mereka menyebut Imam Husein sebagai pahlawan kemuliaan dan kebebasan, dan menilai Asyura sebagai peristiwa heroik dan agung dalam sejarah manusia.

Jahedz, seorang sastwaran dan penulis terkemuka Arab dalam catatannya mengenai pengaruh destruktif Bani Ummayah dalam sejarah Islam, mengatakan, “Setelah Muawiyah, penguasa selanjutnya adalah putra Muawiyah yang bernama Yazid. Yazid melakukan kebrutalan-kebrutalan yang di antaranya adalah menyerang kota Makkah, menghancurkan Kabah, menodai kota suci Madinah dan membantai Imam Husein as, cucu kesayangan Rasulullah Saww. Imam Husein as dan keluarganya yang merupakan pelita kebenaran dan tokoh-tokoh Islam, dibantai. Padahal sebelumnya, Imam Husein as meminta para sahabatnya untuk meninggalkannya. Imam tidak berkeinginan untuk perang. Meski demikian, para penguasaan Bani Umayah tetap tidak puas kecuali dengan membunuh Imam Husein as.”

Abdul Jabbar Al-Muktazili dalam bukunya “Sharh Al Ushul Al-Khamsah” menulis, “Jika ammar makruf dan nahi munkar mengancam jiwa manusia, maka kewajiban itu gugur kecuali dalam rangka menegakkan kemuliaan agama.” Ia melanjutkan, “Kebangkitan Imam Husein as dapat ditafsirkan bahwa kesabaran dan pengorbanan beliau dipersembahkan untuk memuliakan agama Allah Swt. Kita sebagai ummat Islam juga membanggakan perjuangan Imam Husein as di hadapan para pengikut agama lain. Sebab, putra Rasulullah yang saat itu tinggal satu, tetap tidak meninggalkan kewajiban amar makruf dan nahi munkar hingga gugur syahid di jalan Allah Swt.”

Ibnu Jauzi Hanbali, seorang pakar tafsir dan sejarawan terkemuka Islam menulis, “Jika orang yang paling bodoh di kalangan masyarakat ditanya; Siapakah yang terbaik antara Imam Husein as dan Yazid?” Orang yang paling bodoh itu pasti menjawab, “Yang terbaik adalah Imam Husein as.” Para pengikut Yazid menyebut Imam Husein as sebagai sekelompok pembangkang. Terkait hal ini Ibnu Jauzi Hanbali menjawab, “Pembangkang adalah pihak yang menentang kebenaran. Akan tetapi Imam Husein as tak diragukan lagi bahwa beliau adalah penentang kebatilan dan penegak kebenaran.”

Ibnu Abil Hadid, seorang ulama Ahlu Sunnah, seringkali menyinggung kebangkitan Imam Husein as dalam berbagai kesempatan. Penafsiran Ibnu Abil Hadid mengenai Asyura mengandung penghormatan luar biasa kepada Imam Husein as. Ibnu Abil Hadid menulis, “Pemimpin agung yang pantang menyerah dan pahlawan para pejuang yang berjuang melawan kehinaan, senantiasa memberikan pelajaran keperkasaan, kemuliaan dan kematian dalam kondisi mulia kepada generasi- generasi di sepanjang sejarah. Pemimpin agung itu telah memilih kematian dalam kondisi mulia dari pada bertoleransi dengan kezaliman dan penipuan. Ia adalah Imam Husein as, pembimbing para monotheis yang juga putra Imam Ali as.

Ibnu Abbar Andalusi, seorang sejarawan dan pakar hadis juga menyingging kepribadian Imam Husein as dan Yazid. Ia menulis, “Husein selalu menyibukkan diri dengan membaca dzikir dan Al-Quran pada malam hari hingga pagi. Sementara itu, Yazid menghabiskan umurnya dengan kebatilan dan pesta-pora. Dengan perbedaan yang mencolok ini, bagaimana mungkin Imam Husein as dan Yazid disetarakan?!”

Morbin seorang peneliti asal Jerman mengatakan, “Sekitar 14 abad lalu, Imam Husein as berjuang melawan pemerintah lalim dan kezaliman saat itu. Beliau adalah seorang politisi yang hingga kini tidak ada sosok yang menyetarainya. Imam Husein as melihat bahwa langkah Bani Umayah hampir menghancurkan landasan-landasan Islam. Jika kondisi saat itu masih ditoleransi, Islam tidak akan tersisa. Imam Husein as dengan mengorbankan diri dan keluarga tercinta, memberikan pelajaran pengorbanan kepada umat dunia dan mengangkat nama Islam.”

Morris, seorang sejarawan asal AS ketika berbicara tentang Imam Husein as, mengatakan, “Jika para penulis sejarah kami mengenal hakekat hari Asyura, mereka pasti menganggap peringatan duka kepada Imam Husein as sebagai hal yang luar biasa. Para pengikut Imam Husein as dengan menggelar pawai duka menyatakan tidak akan tunduk di bawah kehinaan kekuasaan lalim. Sebab, slogan perjuangan Imam Husein as adalah menentang kezaliman. Imam Husein as mengorbankan diri, harta bahkan keluarganya demi kemuliaan dan keagungan Islam. Untuk itu, bergabunglah untuk menempuh jalan Imam Husein as dan melepaskan diri dari kezaliman para pengikut Yazid. Kita sudah sepatutnya memilih kematian dengan mulia daripada kehidupan dengan hina. Ini adalah ringkasan ajaran Islam sebenarnya.”

Dengan demikian, fakta-fakta tragedi Asyura menunjukkan bahwa Imam Husein as dan para pengikutnya berjuang melawan kezaliman di bawah terik matahari di tengah padang pasir. Para musuh pun tidak mengenal belas kasih mengepung Imam Husein, keluarganya dan para sahabat setianya, bahkan tak memberikan peluang kepada mereka untuk mengambil air minum di telaga yang ada di sekitar mereka. Imam Husein, keluarganya dan para sahabatnya dibiarkan kehausan. Pada puncaknya, para musuh dengan keji membantai Imam Husein as. Inilah puncak kezaliman di sepanjang sejarah sehingga tidak ada seorang pun yang menoleransi kekejian Bani Umayah. Imam Husein as adalah pelita hidayah dan kebenaran bagi setiap manusia yang mempunyai hati nurani.

Assalamu Alaika Ya Aba Abdillah Al-Husein as.



Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Masa terus berlalu. Ada beberapa peristiwa yang lewat begitu saja tanpa dikenang. Akan tetapi ada beberapa peristiwa lainnya yang tidak dilupakan oleh sejarah. Bahkan peristiwa-peristiwa itu menjadi sumber perubahan di aspek sosial, politik dan sejarah. Tragedi yang terjadi pada tahun 61 Hijriah Qamariah, tepatnya pada tanggal 10 Muharram, adalah di antara peristiwa yang tak dapat dilupakan oleh sejarah. Peristiwa heroik Imam Husein as dan 72 pengikut setianya bukanlah perang historis yang terjadi pada saat itu saja. Aspek-aspek peristiwa Karbala begitu agung sehingga menembus waktu dan tempat. Tak diragukan lagi, pengaruh besar Imam Husein as yang tak mengenal waktu dan tempat, bermuara dari misi gerakan yang diemban cucu kesayangan Rasulullah Saww itu.

Imam Husein as ketika menjelaskan misinya dalam melawan para penguasa yanng lalim dan arogan, mengatakan, “Saya bangkit untuk menegakkan ammar makruf dan nahi munkar.” Untuk itu, kebangkitan Imam Husein as dapat dipahami sebagai gerakan yang bertujuan menjaga nilai-nilai moral dan manusiawi. Ini adalah sebuah realita yang tak dapat dipungkiri bagi para sahabat Imam Husein yang mendampinginya di Karbala. Keperkasaan, keberanian dan kesadaran di samping spiritual dan moral, merupakan fenomena indah heroisme dan keirfanan tragedi Asyura.

Dalam kesempatan kali ini, kami akan membahas manifestasi spiritual dan moral para pahlawan Karbala. Spiritualisme dan perangai mulia Imam Husein dan pengikut setianya di Karbala yang tercantum dalam sejarah, merupakan sumber kemuliaan dan tauladan baik dari sisi individu dan sosial. Keindahan-keindahan moral seperti kesabaran, pengorbanan, keberanian, spiritual dan tawakal, merupakan contoh-contoh kemuliaan yang terkandung dalam pesan gerakan Imam Husein as. Perangai mulia dan agung tak diragukan lagi sebagai konsekuensi kesempurnaan diri. Menjual diri untuk kepentingan dunia sama halnya dengan melepas modal utama spiritual dan humanis. Karena peliknya kehidupan, manusia kadang terjebak dalam sebuah kondisi yang kemudian menerima kehinaan. Sementara itu, manusia-manusia bebas tak akan menerima kehinaan hingga mengorbankan diri demi kemuliaan.

Imam Husein as berkata, ” Kematian dalam kondisi mulia lebih baik dari kehidupan dalam kondisi hina.” Pandangan semacam ini hanya dimiliki manusia-manusia bebas yang mempunyai pandangan hidup yang mendalam. Imam Husein as dan sahabat-sahabatnya meraih spirit kebebasan di bawah naungan ketaatan kepada Allah Swt. Mereka merasakan nikmatnya kebebasan dan lezatnya kehambaan kepada Allah Swt. Ingat kepada Allah Swt dan bertawakal kepada-Nya meliputi suasana kamp Imam Husein di Karbala. Diriwayatkan pula, Imam Husein as di Karbala selalu mengulangi dzikir “La Haula Wa La Quwwata Ila Billah”, yang artinya “Tidak ada kekuasaan dan kekuatan kecuali dari Allah Swt.” Meski berjumlah sedikit, para pahlawan Karbala dapat melawan 30 ribu pasukan yang dilengkapi dengan senjata lengkap. Rahasia perlawanan dan kegigihan mereka pada dasarnya, terletak pada hubungan dengan Allah Swt.

Pagi hari Asyura, para musuh memulai melakukan serangan membabi-buta kepada Imam Husein as dan para sahabat setianya. Pada hari itu, Imam Husein bermunajat kepada Allah Swt, “Ya Allah, Engkau adalah harapanku di segala kesusahan dan kesulitan. Sesungguhnya waliku adalah Tuhan yang menurunkan kitab dan mengutus orang-orang yang saleh dan mulia sebagai pemimpin.” Dalam munajatnya itu tercermin kepercayaan diri Imam Husein as karena kedekatannya dengan Dzat Yang Maha Pencipta dan Kuasa.

Ketika waktu dzuhur tiba, salah satu sahabat diingatkan untuk mengerjakan shalat dzuhur. Imam Husein as sambil melihat langit dan berkata, “Kerjakanlah shalat sehingga Allah menjadikan kamu sebagai orang yang mengerjakan shalat dan ingat kepada Allah Swt.” Kemudian, Imam Husein berkata, ” Mintalah kepada musuh untuk menghentikan perang, sehingga kita mendapat kesempatan untuk mengerjakan shalat.”

Ingat kepada Allah Swt adalah diantara fenomena indah lainnya yang diperagakan para pahlawan Karbala. Salah satu dampak ingat kepada Allah Swt adalah kesabaran. Kesabaran dan kegigihan tampak pada aura wajah para sahabat setia Imam Husein as. Kesabaran Imam Husein dan para sahabatnya dalam menghadapi peristiwa yang paling memilukan itu, membuat ummat manusia terkesima akan keagungan cucu kesayangan Rasulullah Saaw.

Imam dalam berbagai kesempatan mengingatkan keluarganya dan para sahabatnya supaya bersabar. Imam Husein juga menyebut kesabaran sebagai syarat untuk terus mendampinginya hingga akhir hayat. Imam Husein as di padang Karbala kehilangan para sahabat dan keluarganya, dari anak yang paling kecil dan masih menyusui hingga anak dan saudara-saudaranya yang sudah dewasa. Meski demikian, Imam Husein as tetap tangguh di hadapan ujian berat ini.

Imam Husein as dan para sahabat setianya telah menampilkan pemandangan keperkasaan dan keberanian sejati dalam tragedi Asyura. Keperkasaan adalah sebuah perangai mulia manusia yang menjaga nilai-nilai akhlak dan kemuliaan serta kondisi orang-orang lemah. Seseorang yang berkomitmen dengan kebenaran, tidak akan berkhianat dan tunduk di hadapan kehinaan dan kezaliman. Inilah ciri khas yang sangat menonjol pada para pengikut setia Imam Husein as.

Dalam sejarah gerakan Imam Husein as diriwayatkan rombongan Imam as bertemu dengan pasukan yang dipimpin oleh Hur. Mereka menutup jalan Imam dan para pengikutnya. Salah satu sahabat kepada Imam mengusulkan untuk memerangi mereka karena jumlah pasukan Hur relatif sedikit. Akan tetapi Imam Husein as berkata, “Kita tidak akan memulai perang.” Yang lebih indah lagi, Imam Husein malah memerintahkan para sahabatnya supaya memberi air kepada pasukan Hur yang kehausan. Sikap Imam ini menunjukkan kemuliaan dan keagungan Imam Husein as.

Di samping itu, keberanian Imam Husein as dan para sahabat mulianya di Karbala mencerminkan pemandangan indah spiritual yang luar biasa. Keberanian adalah perangai manusia yang tidak takut dan tetap tegar dalam menghadapi kesulitan. Mereka di padang Karbala menyambut kematian dengan keberanian yang luar biasa. Setiap sahabat menghabisi para musuh dalam jumlah besar dan mengorbankan dirinya demi kemuliaan agama. Salah satu pasukan musuh ketika menceritakan keberanian para pengikut Imam Husein as, mengatakan, “Mereka ketika menarik pedang, sama seperti singa yang akan menghabisi musuh. Jika tetap membiarkan para pengikut Imam Husein as, mereka akan menghabisi kita. Mereka menerobos pasukan ke depan dan mengorbankan diri.”

Fenomena indah lainnya yang dapat disaksikan di padang Karbala adalah kesetiaan para pengikut Imam Husein as. Pada malam terakhir, Imam membebaskan para sahabatnya. Imam mempersilahkan para sahabat untuk meninggalkannya dan menyelamatkan diri dari kematian. Namun para sahabat yang setia menyatakan tetap bersama dengan Imam Husein as. Salah satu sahabat setia Imam Husein, Muslim bin Usajah, ketika menyatakan kesetiaannya kepada Imam Husein as berkata, “Demi Allah, kami tak akan membiarkanmu sendirian, sehingga Allah Swt bersaksi bahwa kami tak akan membiarkan kehormatan Rasulullah Saww setelah wafatnya.” Dikatakannya juga, “Saya yakin, jika saya mati kemudian dihidupkan kembali dan dibakar hingga menjadi debu yang beterbangan, aku tetap tak akan berpisah darimu. Saya terus akan berkhidmat kepadamu hingga mati.”

Tragedi Karbala merupakan pemandangan moral dan spiritual luar biasa, yang juga sekaligus mencerminkan misi mulia Imam Husein as. Imam Husein ketika berhadapan dengan musuh, tetap menjaga etika dan nilai-nilai manusiawi. Bahkan Imam Husein memberikan air kepada para pasukan musuh yang kehausan. Akan tetapi sebaliknya, para pasukan musuh saat melihat Imam Husein as dan keluarganya kehausan, tetap membiarkan mereka, bahkan membantai tanpa kenal ampun. Fenomena inilah yang membuat tragedi Karbala disebut-sebut sebagai hujjah terakhir bagi kebenaran. Orang yang paling tolol pun tidak akan rancu dalam menilai kebenaran saat itu.

Apa yang dilakukan oleh Imam Husein as di Karbala adalah menyelamatkan nilai-nilai kemanusiaan dan menjunjung tinggi moral. Karena inilah gerakan Imam Husein as menyebar luas tanpa mengenal batas. Peradaban ummat manusia berhutang budi pada perjuangan sejati Imam Husein as.



Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Sayyidah Zainab as lahir tanggal 5 Jumadil Awwal tahun ke-6 Hijriah di kota Madinah. Beliau adalah anak ketiga dari pasangan Imam Ali as dan Sayyidah Fathimah as. Ketika Zainab as lahir ke dunia, Nabi Muhammad saw sedang berada di perjalanan. Oleh karenanya, Sayyidah Fathimah meminta kepada suaminya Imam Ali as untuk memberi nama putri yang baru lahir itu. Namun Imam Ali as memutuskan untuk menanti Nabi Muhammad saw kembali dari perjalanan dan memberinya nama.

Ketika Rasulullah saw tiba di Madinah, beliu begitu gembira saat dikabarkan kelahiran cucunya ini dan berkata, “Allah swt memerintah agar nama anak perempuan ini diberi nama Zainab yang artinya hiasan ayahnya.” Rasulullah saw kemudian menggendong Zainab dan menciumnya lalu berkata, “Saya mewasiatkan kepada kalian semua agar menghormati anak perempuan ini, karena ia mirip Sayyidah Khadijah as.” Sejarah menjadi bukti bahwa Sayyidah Zainab as sama seperti Sayyidah Khadijah yang menanggung banyak kesulitan demi memperjuangkan Islam. Dengan kesabaran dan pengorbanannya ia mempersiapkan sarana demi pertumbuhan dan kesempurnaan agama ilahi ini.

Sayyidah Zainab as dibesarkan dalam keluarga yang penuh spiritual dan kemuliaan. Karena keluarga ini dihiasi oleh pribadi-pribadi agung seperti Rasulullah saw, Imam Ali as dan Sayyidah Fathimah as. Mereka adalah orang-orang suci dan yang membangun keutamaan manusia. Sayyidah Zainab as sejak kecil punya pemahaman yang dalam dan jiwa yang dipenuhi makrifat. Sayyidah Zainab as sejak kecil telah menghapal khutbah historis ibunya Sayyidah Fathimah as yang penuh dengan pengetahuan Islam, sekaligus sebagai perawi khutbah ini. Setelah dewasa dengan kematangan berpikirnya ia akhirnya dikenal dengan sebutan ‘Aqilah yang berarti seorang ilmuwan wanita.

Berbagai kejadian dan peristiwa besar pernah disaksikannya. Sejak kecil Sayyidah Zainab as telah kehilangan kakeknya Nabi Muhammad saw dan tidak berapa lama beliau harus kehilangan ibu tercintanya Sayyidah Fathimah as. Setelah itu, tanggung jawab pendidikannya berada di pundak ayahnya Imam Ali as. Dalam didikan ayahnya Imam Ali as, beliau mencapai derajat keilmuan yang tinggi dan keutamaan akhlak.

Semua posisi itu diraihnya ketika mayoritas wanita dimasa itu buta huruf dan tidak punya kesempatan untuk belajar. Sayyidah Zainab as setelah menimba ilmu dari ayahnya kemudian mulai menyebarkan agama Islam dan mengajarkan ilmu-ilmu yang dikuasainya kepada kaum hawa waktu itu. Para wanita berduyun-duyun memintanya untuk diperbolehkan hadir dalam majelis pelajaran dan tafsir Al-Quran. Kehadirannya di Madinah dan setelah itu selama tinggal di Kufah berhasil menyampaikan ilmu-ilmu Islam kepada kaum hawa.

Ketika Sayyidah Zainab as mencapai usia perkawinan, beliau kemudian menikah dengan Abdullah bin Jakfar saudara misannya. Abdullah dikenal sebagai orang kaya Arab. Namun Sayyidah Zainab as menjadi isterinya bukan karena hartanya. Ketinggian derajatnya membuat beliau tidak membatasi dirinya dalam kehidupan lahiriah. Beliau telah belajar untuk tidak pernah mengorbankan hakikat dalam kondisi apa pun. Itulah mengapa Sayyidah Zainab as senantiasa bersama saudaranya Imam Husein as demi menghidupkan kembali agama dan spiritual manusia serta berusaha untuk memperbaiki masyarakat.

Sayyidah Zainab as sewaktu menikah dengan suaminya Abdullah mensyaratkan untuk bisa tetap bersama saudaranya Imam Husein as. Abdullah menerima syarat tersebut dan menikahi cucu Rasulullah saw ini. Dengan syarat inilah Sayyidah Zainab as dapat mengikuti perjalanan bersejarah Imam Husein as dari kota Madinah hingga Karbala dan bangkit menghadapi Yazid penguasa zalim dan korup.

Kondisi paling tepat untuk mengenal lebih jauh kepribadian Sayyidah Zainab as adalah dengan mempelajari sejarah Asyura dan tertawannya keluarga Rasulullah saw. Kondisi paling genting bagi sejarah Islam terjadi dalam peristiwa Asyura di mana pada waktu itu siapa saja dapat menyaksikan keagungan semangat Sayyidah Zainab as. Seorang perempuan yang sulit dicari bandingannya dalam sejarah Islam. Mengingat Allah dan shalat menjadi penenangnya. Cahaya ilahi begitu menerangi hatinya, sehingga segala penderitaan yang dihadapinya menjadi tidak berarti.

Kepribadian hakiki seseorang oleh sains dan ilmu psikologi disebutkan bakal muncul di saat orang tersebut dalam kondisi marah atau sangat emosional. Sayyidah Zainab as di puncak kesulitan dan penderitaan setelah syahadah saudara dan orang-orang tercintanya masih tetap tegar berkata dan derajat kesabaran, keberanian, dan tawakkalnya kepada Allah yang telah tertanam dalam dirinya didemonstrasikan dengan indah.

Di hadapan para pemimpin zalim dan haus darah dinasti Umayyah, Sayyidah Zainab as berdiri dan tanpa takut mengecam sikap mereka serta membela kebenaran Ahlul Bait Nabi Muhammad saw. Beliau menilai Imam Husein as dan sahabat-sahabatnya sebagai pemenang. Pidatonya yang lugas, fasih dan mematikan di istana Yazid begitu mempengaruhi hadirin yang membuat mereka kembali mengenang ayahnya Imam Ali as.

Dengan tegas Sayyidah Zainab as berpidato dengan bersandarkan pada ayat-ayat Al-Quran. Kemampuan beliau dalam menjelaskan kebenaran begitu mempesonakan, sehingga pribadi seperti Ibnu Katsir terpengaruh ucapan-ucapan Sayyidah Zainab as. Beliau dengan suara lantang dan dalam kondisi menangis berkata, “Ayah dan ibuku menjadi tebusan kalian orang-orang tua terbaik di antara mereka yang lanjut usia, anak-anak kecil terbaik di antara mereka yang masih kecil dan wanita-wanita kalian adalah yang terbaik. Generasi kalian lebih tinggi dan lebih baik dari semua generasi yang ada dan kalian tidak pernah terkalahkan.”

Sayyidah Zainab as pernah mendengar dari ayahnya Imam Ali as bahwa “Manusia tidak akan pernah mampu mengenal hakikat iman tanpa memiliki tiga hal dalam dirinya; pengetahuan akan agama, kesabaran di tengah kesulitan dan pengelolaan yang baik urusan kehidupannya.” Wanita mulia ini menerima tanggung jawab berat dan sulit, namun kesabarannya seperti permata yang menghiasi jiwanya. Menurut Sayyidah Zainab as, ketegaran di jalan kebenaran dan pengorbanan di jalan Allah senantiasa indah dan selamanya bakal dipuji oleh manusia. Demikianlah setelah peristiwa Asyura Sayyidah Zainab as kepada orang-orang zalim beliau berkata, “Saya tidak menyaksikan sesuatu kecuali keindahan.”



Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Dalam banyak riwayat disebutkan bahwa tragedi pembantaian keluarga Rasul pimpinan Imam Husain ini segera disusul dengan berbagai tanda alam dan lain yang menunjukkan kesakaralan syahadah beliau. Diantaranya disebutkan bahwa kematian suci cucu Rasul di tangan manusia-manusia sadis itu segera disusul dengan bertiupnya angin kencang, angkasa tiba-tiba gelap gulita, sehingga orang-orang tak dapat melihat apa yang ada di depannya.[1]

Selain itu Zari’ Al-Asadi, seorang petani yang bercocok tanam di tepian sungai ‘Alqamah dalam kisahnya tentang Imam Husain mengatakan: Pukulan tongkat Nabi Musa as ke batu dapat memancarkan mata airm tetapi musibah Imam Husain telah memancarkan darah dari bebatuan, sebagaimana darah pernah mengucur dari runtuhan batu-batu di Baitul Maqdis.[2]

Dikisahkan pula bahwa dari awal malam ke 11 Muharram hingga terbitnya fajar semua bebatuan dan bongkahan-bongkahan tanah mengucurkan darah dibawahnya.[3]

Periwayat menceritakan: “Hazrat Musa adalah pemilik Yad AlBaidha’ dan sering memancarkan cahaya ketika dia memperlihatkan suatu mukjizat. Namun, dari Imam Husain yang memancarkan cahaya cemerlang adalah dahi dan leher beliau.[4]

Untuk Nabi Musa as Allah telah membelahkan laut agar Bani Israel dapat menyeberanginya. Namun, untuk Imam Husain as seluruh samudera bergemuruh hebat dan penghunipun meratap, sementara para bidadari juga turun dari alam Firdaus dan mendatangi samudera sambil berucap: “Hai para penghuni lautan, berdukalah atas terbunuhnya putera Rasulullah.” [5]

Nabi Musa as telah menggali liang lahadnya dengan tangannya sendiri. Namun liang lahad Imam Husain as digali oleh Rasulullah. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa pada hari 10 Muharram (Asyura), Ummu Salamah bermimpi menyaksikan Rasulullah bermandi debu dan berucap: “Orang-orang telah membantai dan mengugurkan puteraku. Aku melihatnya jasadnya dan aku sedang sibuk menggalikan lubang kubur untuk Husain dan para sahabatnya.”[6]

Diriwayatkan pula bahwa tujuh hari sepeninggal Imam Husain as langit berwarna merah dari ujung ke ujung. Bahkan kendati tragedi Karbala sudah berlalu 14 abad, hingga kini masih terdapat keajaibaban-keajaiban yang berkaitan dengannya, khususnya pada hari Asyura. Satu diantara keajaiban itu ialah mengalirnya cairan seperti darah dari sebuah pohon di Zarabad, sebuah daerah di Qazwin. Pohon yang tumbuh di dekat benteng Alamut itu setiap tahun pada hari Asyura dikunjungi oleh ribuan orang untuk menyaksikan mengalirnya cairan seperti darah tersebut dari batang pohon yang disebut dengan pohon canar (plane tree) tersebut.[7]

Dalam doa ziarah Imam AlMahdi as untuk Imam Husain as disebutkan:

“Bagaiamana aku dapat membayangkan adegan nyata dimana kudamu kembali ke tendamu sambil merundukkan kepala seperti menangis, dan kaum wanita (mu mendapatinya dalam keadaan mengenaskan dan pelananya terbalik sehingga mereka keluar tenda, rambut mereka terurai, wajah mereka dibanjiri air mata, dan tampak jelas, dan ratap tangis mereka terdengar keras, setelah mereka kehilangan orang yang sangat mereka cintai. Mereka lantas bergegas menuju tempat pembantaianmu di saat Syimir menduduki dadamu sambil menghunus pedangnya di atas lehermu.”[8]

“(Wahai kakekku), maka aku akan sungguh-sungguh meratapi dirimu setiap dan sore. Bukannya dengan air mata, tetapi dengan darahlah aku menangisinya dan meratapi bencana besar yang telah menimpamu hingga aku meninggal dunia nanti dalam keadaan menanggung beban duka cita.”[9]

Imam AlMahdi as juga bertutur kata untuk Imam Husain as:

“Syimir telah duduk diatas dadamu sambil menghunus pedang pedang diatas lehermu dan menarik jenggotmu, lalu menyembelihmu dengan pedangnya. Sejak itu, panca inderamu redup, nafasmu reda, dan kepalamu ditancapkan di atas tombak.”[10]

Dalam ziarahnya untuk kakeknya, Imam Husain as, Imam Al-Mahdi as juga berkata: “Seandainyapun masa ini diakhirkan dan takdirkan telah menghalangiku untuk menolongmu, maka aku akan tetap sunguh-sungguh meratapimu dan menangisimu dengan darah, bukan bukan dengan air mata.

Adapun salam beliau untuk Imam Husain as ialah sebagai berikut:

“Salam atas putera Nabi Putera Terakhir, salam atas putera pemuka para washi, salam atas putera Fatimah Azzahra, salam atas putera Khatijah Al-Kubra, salam atas putera Sidaratul Muntaha, salam atas putera surga Al-Ma’wa, salam atas putera Zamzam dan Safa, salam atas dia yang telah bermlumuran darah bercampur debu, salam atas dia yang kemahnya telah dihujani anak panah, salam atas orang kelima penghuni Al-Kisa’, salam atas dia, orang yang paling terasing, salam atas pemuka para syuhada, salam atas manusia yang ditangisi oleh para malaikat di langit, salam atas manusia yang selalu didatangi oleh orang-orang yang menderita. Salam atas bibir-bibir yang kekeringan, salam atas jasad-jasad yang terlucuti, salam atas kepala-kepala yang terpenggal, salam atas wanita-wanita yang tertawan, salam atas hujjah Allah.”

“Salam atas jasad yang bermandikan darah luka-luka.”

“Salam atas jasad yang urat-urat jantungnya diputuskan oleh anak panah.”

“Salam atas jasad yang tersalib.”

“Salam atas deretan gigi yang ditumbuk oleh tongkat.”

“Salam atas bibir yang kering kehausan.”

“Salam atas kepala-kepala yang tertancap di ujung tombak dan pertontonkan di semua tempat.

Diriwayatkan bahwa setelah Imam Husain as terbunuh, Umar Bin Sa’ad di tengah pasukannya berseru: “Siapa yang siap melumat jasad Husain dengan injakan kaki kuda?!”[11] Dari sekian ribu pasukan yang ikut serta dalam pembantaian Imam Husain itu tak ada yang bersedia berbuat sesuatu sebiadab itu terhadap cucu rasul tersebut kecuali sepuluh orang. Mereka yang konon anak zina itu bergantian menghentak-hentakkan kudanya diatas tubuh Imam hingga tulang belulang jasad beliau yang suci dan mulia remuk. [12]

Mereka melakukannya sambil terkekeh-kekeh dan penuh kebanggaan seakan dengan perbuatan seperti itu mereka dapat menjatuhkan keagungan Imam Husain. Padahal, perlawanan pantang mundur beliau dan para pengikutnya di depan kezaliman dan pendurjana telah menjadi teladan bagi umat manusia dan karena itu jutaan manusia di muka bumi telah menjadi pengikut dan atau setidaknya pengagum beliau. Sebaliknya, Muawiah dan Yazid tidak menyisakan bekas apapun kecuali ketercelaan, keterkutukan, dan laknat yang abadi.

Dengan demikian, selamat untuk Imam Husain as atas perjuangan dan jihadnya di Karbala yang beliau mulai dengan seruan “Adakah sang penolong yang akan menolongku?!” Kini, hamba-hamba beriman sedang menantikan kedatangan Imam AlMahdi as untuk kita penuhi seruan firman allah: “Hai orang-orang yang beriman, jika kalian menolong Allah niscaya Allah akan menolong kalian, dan Dia akan mengokohkan langkah-langkah kalian.”[13]

Sayidah Fatimah Azzahra as pernah berkata:

“Jika kalian hendak membantu puteraku, AlMahdi, maka jadikanlah jiwa kalian seperti jiwa seorang ibu yang telah melepaskan anak salihnya pergi jauh dan tidak apakah hari ini, besok, atau tahun depan akan pulang.” Imam AlMahdi as sendiri berkata:

“Aku pasti akan kembali kepada orang yang paling lemah diantara kalian, agar rahmat Allah yang abadi tercurah kepada kalian.”

“Aku akan datang agar hati yang luka dapat terobati.”

“Aku pasti datang untuk membebaskan orang-orang yang terbelenggu.”

“Aku pasti akan datang untuk menegakkan agama Muhammad di dunia.”

Pada masa Imam Al-Mahdi as nanti, sedemikian damainya muka bumi ini sehingga kambingpun dapat hidup tentram berdamping dengan srigala. Anakp-anak kecil dapat ebrmain dengan ular dan kalajengking. Dunia saat itu tidak lagi menyisakan keburukan. Yang tinggal hanyalah kebaikan. Bumi mempersembahkan segala kekayaannya, dan langitpun mencurahkan segala berkahnya. Harta dari perut bumi melimpah, permusuhan reda di hati setiap orang, pintu-pintu kebahagiaan dan keamanan terbuka lebar, seorang wanita dapat bepergian ke mana saja di malam hari seorang diri tanpa ada rasa takut. Wajauh bumi serba hijau dan rindang, dan siapaun tidak akan takut lagi kepada binatang-binatang liar.

Pada hari itu, Sang Penyelamat manusia-manusia yang teraniaya itu akan menyeret ‘dua berhala Bani Quraish; ke tiang gantungan, dan lalu beliau akan membawakan kisah lagi tentang syahadah kakeknya, Imam Husain as, tentang penyembelihan anak-anak kecil keturunan Rasul saww, dan tentang semua penderitaan dan keteraniayaan Ahlul Bait suci Rasul dan para pengikutnya.[14]

Imam AlMahdi as akan tampil dan membalas darah datuknya setelah berada di alam kegaiban selama sekian lama. Saat itu dia akan tampil di Mekah diantara Rukn dan Maqam lalu mengumandangkan suara:

“Wahai para penghuni dunia, akulah Imam AlQaim, akulah pedang yang akan melakukan pembalasan.”

“Wahai para penghuni dunia, sesungguhnya kakekku Husain telah dibunuh dalam keadaan tercekik kehausan.”

“Wahai para penghuni dunia, sesungguhnya (jasad) kakekku Husain telah mereka gerus dengan injakan kaki-kaki kuda.”

Baginda Nabi Besar Muhammad saww tentang Imam AlMahdi as bersabda: “AlMahdi adalah satu-satunya penyelamat umat manusia kelak dimana kedatangannya akan membawa kedamaian universal.”

Rasulullah saww juga bersabda: “Selamat atas kalian dengan kedatangan puteraku, AlMahdi, kelak, karena janji Allah pasti akan terpenuhi. Ketahuilah bahwa AlMahdi dari keluarga Muhammad masih dalam perjalanan.”

Diriwayatkan bahwa ketika Imam Husain as menggapai puncak derajat syahadah, kuda beliau, Dzuljanah, melepoti kepala dan lehernya lalu menghentak-hentakkan kakinya ke tanah sambil meringkik keras hingga memantul ke segenap penjuru Karbala. Saat kuda perkasa itu dilihat oleh Umar bin Sa’ad, manusia ambisius berseru kepada komplotannya: “Kuda milik AlMustafa itu serahkan kepadaku.” Sesuai perintah ini, beberapa pasukan penunggang kuda segera memacu kudanya untuk mendekati Dzul janah. Namun, kuda yang sebelumnya ditunggangi oleh Abu Fadhl Abbas itu tinggal diam oleh manusia-manusia kejam yang telah membantai habis tuannya. Dzuljanah tiba-tiba mengamuk dan menerjang siapapun yang mencoba mendekatinya. Beberapa orang tewas diamuk oleh kuda perkasa itu, sampai akhirnya Umar bin Sa’ad meminta anak buahnya membiarkan kuda itu.

[1] Maqtal Khawarizmi hal.201

[2] Muntakhab AT-Tharihi juz 2 hal.61 – Biharul Anwar juz 45 hal.204-205

[3] Biharul Anwar juz 2 hal. 209

[4] ibid juz 44 hal.194

[5] Ibid juz 44 hal.194

[6] ibid juz 45 hal.221

[7] Idhoh Al-hujjah juz 2 hal.209

[8] Bihar Al-Anwar juz 101 hal.240

[9] Ibid

[10] Ibid.

[11] Biharul Anwar juz 45 hal.29

[12] Darighatunnajah hal.155

[13] Q:47:7

[14] Nawaib Adduhur juz 3 hal. 129



Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer




Untuk sementara kalangan, hari Asyura saat itu adalah hari jihad, pengorbanan, dan perjuangan menegakkan kebenaran. Namun, untuk kalangan lain, hari itu adalah hari pesta darah, hari perang, dan hari penumpahan ambisi-ambisi duniawi. Akibatnya, terjadilah banjir darah para pahlawan Karbala yang terdiri dari anak keturunan Rasul dan para pecintanya.

Hari itu tanah Karbala dibakar oleh sengatan terik mentari yang mengeringkan tenggorokan para pahlawan Karbala. Hari itu, para pejuang Islam sejati satu persatu bergelimpangan meninggalkan sanjungan sejatinya, Husain putera Fatimah binti Muhammad SAWW. Bintang kejora Ahlul Bait Rasul ini akhirnya menatap pemandangan sekelilingnya. Wajah-wajah setia pecinta keluarga suci Nabi itu sudah tiada. Dari para pejuang gagah berani itu yang ada hanyalah onggokan jasad tanpa nyawa. Putera Amirul Mukminin itu melantunkan kata mutiaranya. Beliau antara lain mengatakan:

"Akulah putera Ali dari Bani Hasyim, dan cukuplah kiranya ini menjadi kebanggaan bagiku. Fatimah adalah ibundaku, dan Muhammad adalah kakekku. Dengan perantara kamilah Allah menunjukkan kebenaran dari kesesatan. Kamilah pelita-pelita Allah yang menerangi muka bumi. Kamilah pemilik telaga Al-Kautsar yang akan memberi minum para pecinta kami dengan cawan-cawan Rasul. Tak seorangpun dapat mengingkari kedudukan kami ini.”

Hari Asyura adalah hari pementasan duka nestapa Ahlul Bait Rasul, hari rintihan sunyi putera Fatimah, hari keterasingan putera Azzahra, hari kehausan dan jerit tangis anak keturunan Nabi. "Adakah sang penolong yang akan menolong kami? Adakah sang pelindung yang akan melindungi kami? Adakah sang pembela yang akan menjaga kehormatan Rasulullah?" Pinta putera Ali bin Abi Thalib as itu kepada umat kakeknya, Muhammad SAWW.

Rintih pinta cucu Rasul itu tak dijawab kecuali oleh beberapa pemuda Bani Hasyim yaitu keluarga, kaum kerabat dan pengikut beliau yang masih tersisa. Diantara mereka adalah Ali Akbar, putera beliau sendiri. Ali Akbar meminta izin sang ayah untuk maju melawan musuh. Demikianlah, Imam Husain as akhirnya mempersembahkan putera tercintanya, Ali Akbar, sebagai pejuang pertama Bani Hasyim di Karbala. Pertempuran Ali Akbar beliau perhatikan dengan seksama dan penuh ketabahan.

Ketika sudah berada di medan laga, kepiawaian Ali Akbar dalam berperang membuat musuh tercengang. Gerakan dan ketangkasannya dalam bertempur mengingatkan mereka kepada Haidar Al-Karrar alias Ali bin Abi Thalib as yang tenar dengan julukan Singa Allah. Tak sedikit pasukan musuh yang mati menjadi mangsa sambaran pedang Ali Akbar. Namun, ketika jumlah musuh yang sangat besar itu seakan tak berkurang, Ali Akbar lelah dan tercekik kehausan. Keadaannya yang sudah nyaris tanpa daya itu segera dimanfaatkan musuh untuk menghabisi riwayatnya. Maka dari itu, kedatangannya disambut dengan hantaman pedang tepat di bagian atas kepala. Darahnya yang mengucur segera disusul dengan sambaran anak panah yang menusuk tubuhnya secara bertubi-tubi.

Tampil kemudian Abdullah bin Muslim bin Aqil ke medan laga. Dia termasuk prajurit yang meminta sendiri kepada Imam Husain as untuk angkat pedang melawan musuh. Setelah berhasil membuat beberapa serdadu musuh bergelimpang diterjang keperkasaannya, Abdullah tak berdaya melawan prajurit iblis yang menyemut itu. Putera Muslim bin Aqil ini gugur di tangan Amr bin Sabih Asshaidawi dan Asad bin Malik. Demikianlah para pendekar Karbala pengikut Imam Husain maju satu persatu menerjang musuh. Mereka antara lain adalah Muhammad bin Muslim bin Aqil, Abdurrahman bin Aqil dan Jakfar bin Aqil, juga Muhammad bin Abi Said bin Aqil, Qasim bin Hasan bin Ali as, dan adik Imam Husain, Abul Fadhl Abbas as, tokoh legendaris pemegang panji Karbala yang juga tenar dengan sebutan Purnama Bani Hasyim.



Gugurnya Purnama Bani Hasyim

Sang Purnama Bani Hasyim itu gugur syahid dalam bentuknya yang paling dramatis dan membanggakan. Beliau dihabisi saat berusaha membawakan sekantung air untuk kakak sekaligus pemimpin dan junjungannya, Imam Husain as, yang sedang tercekik rasa haus. Dalam mempertahankan sekantung air di depan kerumunan musuh itu, beliau berhasil menuai ajal pasukan musuh dalam jumlah yang sangat besar sebelum beliau sendiri gugur dengan kondisi yang sangat mengenaskan. Sebelum gugur, satu tangannya putus di babat musuh, tetapi beliau masih mempertahankan kantung air untuk Imam Husain.

Namun, dalam kondisi yang nyaris tak berdaya karena itu, seseorang bernama Nufail Arzaq tiba-tiba muncul bak siluman dari balik pohon sambil mengayunkan pedangnya ke arah bahu Abbas. Abbas tak sempat menghindar lagi. Satu-satunya tangan yang diharapkan dapat membawakan air untuk cucu Rasul yang sedang kehausan itu akhirnya putus. Dalam keadaan tanpa tangan, adik Imam Husain ini mencoba meraihnya kantung air dengan menggigitnya. Tapi kebrutalan hati musuh tak kunjung reda. Kantung itu dipanah sehingga air yang diharapkan itu tumpah. Air itu pun mengucur habis seiring dengan habisnya harapan Abbas. Aksi pembantaian ini berlanjut dengan tembusnya satu lagi anak panah ke dada Abbas. Tak cukup dengan itu, Hakim bin Tufail datang lagi menghantamkan batangan besi ke ubun-ubun Abbas.

Kepergian Abul Fadhl Abbas membuat Imam tak kuasa menahan duka. Beliau menangis tersedu dan meratap hingga mengiris hati seluruh hamba sejati Allah di langit dan bumi. Beliau meratap:

“Kini tulang punggungku sudah patah, daya upayaku sudah menyurut, dan musuhku pun semakin mencaci maki diriku.” Ratap putera Fatimah itu sambil memeluk Abbas, adiknya dari lain ibu. Di tengah isak tangisnya, Imam juga berucap kepada Abbas: “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan, adikku. Engkau telah berjuang di jalan Allah dengan sempurna.”

Detik-detik terakhir kehidupan Imam Husain as telah semakin berdetak keras. Kepada kaum wanita keluarga dan kerabatnya bintang ketiga dari untaian suci para Imam Ahlul Bait as yang siap menyongsong kematian sakral itu berkata:

"Kenakanlah gaun duka cita kalian. Bersiaplah menanggung bencana dan ujian. Namun, ketahuilah bahwa Allah adalah Penjaga dan Pelindung kalian. Dia akan menyelamatkan kalian dari keburukan musuh, mendatangkan kebaikan dari persoalan yang kalian hadapi, mengazab musuh dengan berbagai macam siksaan, dan akan mengganti bencana kalian dengan berbagai macam kenikmatan dan kemuliaan. Maka janganlah kalian mengeluh dengan rintihan dan kata-kata yang dapat mengurangi keagungan kalian."

Imam menatap wajah puteri-puterinya satu persatu sambil berkata: "Sakinah, Fatimah, Zainab, Ummu Kaltsum, salamku atas kalian. Inilah akhir pertemuan kita, dan akan serega tiba saatnya kalian dirundung nestapa."

Wajah Imam bersimbah air mata sehingga adik beliau Hazrat Zainab memberanikan diri untuk bertanya: "Mengapa engkau menangis?"

"Bagaimana aku akan dapat meredam tangis, sedangkan sebentar lagi kalian akan digiring oleh musuh sebagai tawanan?!"

Sejurus kemudian Sang Imam bergerak untuk menjejakkan kakinya seorang diri menuju gerombolan musuh yang sudah haus akan darah beliau itu.

Kepada adiknya, Hazrat Zainab as, beliau berpesan:

"Aku titipkan anak-anak dan kaum wanita ini kepadamu. Jadikanlah dirimu sebagai ibu mereka sepeninggalku, dan tak perlu engkau mengurai-uraikan rambutmu (sebagai luapan dukacita) atas kepergianku. Apabila anak-anak yatimku merindukan ayahnya, biarlah puteraku Ali yang akan tampil sebagai ayah mereka."

Dengan suara lirih, beliau akhirnya mengucapkan salam perpisahan: "Alwidaa', alwidaa', alfiraaq, alfiraaq."

Putera Ali bin Abi Thalib as itu kemudian mengendarai Dzul Janah, kuda yang sebelum itu ditunggangi oleh Abul Fadhl Abbas as. Anak-anak kecil dan kaum wanita tak kuasa menahan ratapan duka lara. Gerakan Imam diiringi raung tangis mereka. Sebagian tersimpuh sambil memeluk kaki Dzul Janah. "Ayah! Ayah!" Panggil puteri beliau yang masih berusia tiga tahun.



Perjuangan Ksatria Karbala Seorang Diri

Sebagaimana yang sudah disepakati, terjadilah duel satu lawan satu. Singkat cerita, Imam Husain as adalah pendekar yang tak tertandingi oleh musuh-musuhnya dalam pertarungan secara jantan satu lawan satu. Akibatnya, satu persatu lawan-lawan beliau dalam duel bergelimpangan menjadi korban hantaman pedang beliau. Umar bin Sa’ad pun was-was dan cemas saat melihat sudah banyak pasukannya yang tak bernyawa setelah berani menjawab tantangan duel Imam Husain as.

Dengan kesalnya, Umar bin Sa’ad menggerutu: “Keparat, tak ada seorangpun yang mampu bertanding dengan Husain. Jika begini terus, tak akan ada satupun diantara pasukanku yang tersisa nanti.”

Dia lantas berteriak kepada pasukannya: “Tahukah kalian dengan siapakah kalian hendak bertarung?!”

Umar bin Sa’ad rupanya baru menyadari bahwa dia sedang berhadapan dengan bukan sembarang orang, termasuk untuk urusan perang. Dia adalah putera pendekar Islam legendaris, Imam Ali bin Abi Thalib as. Dia adalah putera ksatria yang dijuluki dengan Haidar Al-Karrar, Singa Yang Pantang Mundur. Dia adalah putera si pemilik pedang Dzulfikar yang telah banyak menghabisi benggolan-benggolan pendekar kaum kafir dan musyrik. Dia adalah putera yang mewarisi semua kehebatan ayahnya. Karenanya, tak mengherankan jika Imam Husain as tak tertandingi oleh siapapun dalam pertarungan secara ksatria. Oleh sebab itu, begitu beliau tidak bisa dirobohkan dengan cara-cara jantan, pasukan musuh akhirnya mengepung beliau yang sendirian dari segenap penjuru. Mereka sudah siap merenggut nyawa beliau dengan cara mengeroyok habis-habisan.
Perjanjian untuk menggelar pertarungan secara ksatria akhirnya benar-benar diabaikan oleh musuh. Umar bin Sa’ad memerintahkan seluruh pasukannya untuk ramai-ramai mengerubungi dan membantai Imam Husain as sedapat mungkin. Maka, sang Imam pun mulai menjadi bulan-bulanan sekian banyak manusia-manusia buas itu. Tubuh Imam semakin lemas dalam melakukan perlawanan sehingga saat demi saat tubuh beliau mulai menuai luka dan kucuran darah.

Tubuh beliau mulai terkoyak-koyak oleh berbagai jenis senjata pedang, tombak, dan panah yang sudah tak sabar untuk menghabisi riwayat Imam Husain as. Saat beliau terkapar, Syimir mencabut pedang dari sarungnya dan tanpa membuang-buang waktu lagi, lelaki bengis itu mengayunkan pedangnya kuat-kuat ke leher cucu Rasul dan putera Fatimah Azzahra. Sekali tebas, kepala manusia mulia itu terlepas dari badannya. Terpisahnya kepala Imam Husain disusul dengan suara sorakan dari mulut balatentara Umar bin Sa’ad yang busuk itu. Kepala yang dulu sering diciumi oleh Rasulullah SAWW kini ditancapkan ke ujung tombak. Langitpun kelabu. Bumi meratap pilu. Salam sejahtera atas arwah sucimu wahai Imam Husain.



Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Kamis 9 Muharram Muharram 61 Hijriah, Imam Husain dikepung pasukan angkara murka Yazid bin Muawiah yang zalim. Pasukan dikerahkan dari Kufah ketika beliau dalam perjalanan selama berhari-hari dari Mekkah di Hijaz menuju Kufah di Irak. Beliau ke Kufah demi memenuhi undangan dan janji penduduk kota itu untuk berperang melawan Yazid dan antek-anteknya yang zalim dan tiran. Namun, saat beliau menjalani misi itu, penduduk Kufah ternyata ingkar janji akibat gencarnya tekanan pihak musuh yang berada di Kufah di bawah pimpinan Ubaidillah bin Ziyad, gubernur pemerintahan Yazid yang berbasis di Damaskus, Suriah yang saat itu bernama Syam.

Pasukan musuh Imam Husain as pimpinan Umar bin Sa’ad bergerak ke arah lokasi perkemahan Imam Husain as di padang Karbala. Saat itu Imam Husain as sedang duduk tertidur dalam posisi merebahkan kepala di atas lututnya. Beliau terjaga saat didatangi adindanya, Zainab Al-Kubra as yang panik mendengar suara ribut ringkik dan derap kaki kuda.

“Kakanda, tidakkah engkau mendengar suara bising pasukan musuh yang sedang bergerak menuju kita?!” seru Zainab as.

Beliau berkata kepada adik lelakinya, Abbas: “Datangilah kaum itu, dan tanyakan kepada mereka untuk apa mereka kemari?”

Abbas pergi ke arah musuh dan menyampaikan pertanyaan tersebut kepada mereka. Pihak musuh menjawab: “Sang Amir telah memerintahkan agar kalian patuh kepada perintahnya. Jika tidak maka kami akan berperang dengan kalian.”

Abbas kemudian bergegas lagi menghadap Imam Husain as dan menceritakan apa jawaban musuh. Imam berkata lagi kepada Abbas: “Adikku, demi engkau aku rela berkorban, datangilah lagi pasukan musuh itu dan mintalah mereka supaya memberi kami waktu satu malam untuk kami penuhi dengan munajat, doa, dan istighfar. Allah Maha Mengetahui bahwa aku sangat menyukai solat, membaca ALQuran, berdoa, dan beristighfar.”

Abbas kembali mendatangi pasukan musuh untuk menyampaikan pesan tersebut. Setelah mendengar permintaan itu, Umar bin Saad berunding dengan orang-orang dekatnya dan akhirnya ia memutuskan untuk memenuhi permintaan itu. Dia mengirim utusan kepada Imam Husain as. Sesampainya di perkemahan Imam Husain as, utusan Umar berteriak lantang: “Kami beri waktu kalian hingga besok. Jika kalian menyerah, kami akan memboyong kalian ke hadapan Sang Amir. Jika tidak maka kami tidak akan melepaskan kalian.”



Perundingan Pertengahan Malam Asyura

Pertengahan malam Asyura para pemuda Bani Hasyim berkumpul di dalam tenda Abu Fadhl Abbas, adik setia Imam Husain as. Abu Fadhl berkata kepada mereka:

“Saudara-saudaraku sekalian, jika besok perang sudah dimulai, orang-orang yang pertama kali bergegas ke medan pertempuran adalah kalian sendiri agar masyarakat tidak mengatakan bahwa Bani Hasyim telah meminta pertolongan orang lain tetapi mereka ternyata lebih mementingkan kehidupan diri sendiri ketimbang orang-orang lain….”

Para pemuda Bani Hasyim itu menjawab: “Kami taat kepada perintahmu.”

Di tempat lain, dalam tenda Habib bin Madhahir, terjadi perundingan beberapa orang non-Bani Hasyim. Habib bin Madhahir berkata kepada mereka:

“Besok, tatkala perang sudah dimulai, kalianlah yang harus terjun terlebih dahulu ke medan laga, dan jangan sampai kalian didahului oleh seorangpun dari Bani Hasyim, karena mereka adalah para pemuka dan junjungan kita semua… "

"Para sahabat Habib bin Madhahir berkata: 'Kata-katamu benar, dan kami akan setia mentaatinya. "

Esok harinya, Imam Husain as kemudian bergegas mengendarai kuda dan membentuk barisan kecil di depan barisan raksasa pasukan musuh.

Saat pasukan Umar bin Sa'ad sudah berada di atas kuda sambil menyeringai dan siap membantai Imam Husain as dan rombongannya, Imam Husain as memerintahkan Burair bin Khudhair untuk mencoba memberikan nasihat lagi kepada musuh. Namun, apalah artinya kata-kata Burair untuk musuh yang sudah menutup pintu hati nurani mereka itu. Apapun yang dikatakan Burair sama sekali tidak menyentuh jiwa dan perasaan mereka.

Dalam keadaan sedemikian rupa, Imam Husain as bertahan untuk tidak memulai pertempuran antara pasukan hak dan pasukan batil itu. Sebaliknya, beliau masih membiarkan dirinya tenang manakala pasukan Umar bin Sa'ad sudah mulai berulah di sekeliling perkemahan Imam Husain as. Imam Husain memerintahkan sahabat-sahabatnya untuk menggali parit dan menyulut kobaran api.

Saat suasana bertambah panas, Syimir bin Dzil Jausyan berteriak keras memanggil Imam Husain as.

"Hai Husain!" pekik Shimir, "Adakah kamu tergesa-gesa untuk masuk ke dalam neraka sebelum hari kiamat nanti?!"

Begitu mengetahui suara itu berasal dari mulut Syimir, Imam Husain as membalas: "Hai anak pengembala sapi, kamulah yang pantas menghuni neraka."

Melihat kekurangajaran Syimir kepada cucu Rasul itu, Muslim bin Ausajah mencoba melepaskan anak panahnya ke tubuh Syimir. Namun Imam Husain as mencegahnya.

"Jangan!" seru Imam Husain as. "Aku tidak ingin menjadi pihak yang memulai peperangan."

Setelah itu, beliau mencoba menuntaskan hujjahnya dengan kalimat dan penjelasan panjang mengenai siapa beliau dengan harapan bisa membuka hati nurani musuh. Semua orang terdiam mendengar kata-kata Imam Husain as sampai Qais bin Asy'ats berani berteriak: "Kata-katamu ini sudah tidak ada gunanya lagi. Kamu tak usah berperang dan lebih baik menyerah kepada anak-anak pamanmu itu karena mereka tidak akan berbuat jahat terhadapmu."

Imam Husain as berkata: "Demi Allah, aku tidak akan menyerah kepada kalian. Aku tidak bersedia menjadi orang hina di depan orang-orang durhaka. Aku tidak akan membebani diriku dengan ketaatan kepada aturan manusia-manusia yang terbelenggu."

Puteri Fatimah Azzahra ini kemudian membacakan dua ayat suci dalam AlQuran dengan suara lantang:

"Sesungguhnya aku hanya berlindung kepada Tuhanku dan Tuhan kalian dari kehendak kalian untuk merajamku."

"Sesungguhnya aku berlindung kepada Tuhanku dan Tuhan kalian dari setiap manusia takabur yang tak beriman kepada hari pembalasan."

Imam Husain as kemudian meminta Umar bin Sa'ad datang mendekati beliau. Meski dengan berat hati dan gengsi, Ibnu Sa'ad memenuhi permintaan Imam Husain as.

"Hai Ibnu Sa'ad!" seru Imam Husain as, "Apakah kamu akan membunuhku supaya Abdullah bin Ziyad si anak zina dan putera zina itu menyerahkan kekuasaan di Rey dan Jurjan kepadamu? Demi Allah, apa yang kamu harapkan itu tidak dapat kamu capai. Kamu tidak akan pernah mendapatkan kekuasaan di dua wilayah itu."

Kata-kata Imam Husain as ini memancing emosi Umar bin Sa’ad. Dia segera berpaling ke arah pasukannya sambil berteriak: “Apa yang kalian tunggu? Cepat bereskan si pemalas ini. Seranglah Husain dan para pengikutnya yang jumlahnya hanya segelintir itu.”

Imam Husain as segera bergegas menunggangi kudanya. Orang-orang yang ada masih tetap dimintanya untuk tenang. Ketika mereka bersedia diam, beliau masih mencoba menyampaikan sebuah khutbah untuk menyadarkan hati mereka.

Jiwa Hur Tersentuh Kalimat Imam Husain

Kata-kata Imam Husain as berhasil menyentuh nurani hati salah seorang komandan musuh bernama Hurr bin Yazid Arriyahi. Dia memberanikan diri untuk mendekati Imam Husain as sambil meletakkan telapak tangan di kepalanya. Dia bertaubat dan disambut baik oleh Imam Husain.

Hurr kemudian meminta diri dari Imam Husain as dan pergi mendekati pasukan Umar bin Sa’ad yang kini sudah menjadi musuhnya. Di depan mereka Hurr memberondongkan kata-kata pedas dan kutukan. Begitu kata-kata Hurr tuntas, beberapa orang pasukan Ibnu Sa’ad membidikkan anak panah ke arah Hurr. Hurr bergegas pergi menghadap Imam Husain as untuk memohon instruksi penyerangan.

Serentak dengan ini, Umar bin Sa’ad berteriak kepada budaknya: “Hai Duraid, cepat maju!” Umar mengambil sepucuk anak panah dan memasangnya ke tali busur sambil berteriak lagi: “Hai orang-orang, saksikanlah bahwa aku adalah orang pertama yang membidikkan anak panah ke arah pasukan Husain.” Anak panah itu melesat.

Sayid Ibnu Thawus meriwayatkan, melesatnya anak panah Umar bin Sa’ad segera disusul dengan hujan panah dari anak buahnya ke arah pasukan Imam Husain as. Imam Husain pun menurunkan instruksi untuk melakukan perlawanan.

Imam Husain as mengizinkan permohonan Hurr untuk maju sebagai orang pertama yang berjihad. Hurr pun maju dengan gagah berani. Selama melakukan perlawanan dan serangan di tengah pasukan musuh yang mengerubunginya, Hurr sempat melihat anak dan saudaranya yang juga termasuk anggota ribuan pasukan musuh. Hurr meminta putera dan saudaranya supaya bertobat. Keduanya bertaubat dan gugur setelah bertempur dan berhasil menghabisi pasukan musuh dalam jumlah besar. Hurr sendiri gugur setelah memberikan persembahan yang tak kalah besarnya.

Gugurnya mereka disusul dengan majunya pengikut setia Imam Husain bernama Muslim bin Ausajah. Sahabat setia itu tersungkur dan syahid setelah memporak-porandakan sebagian barisan pasukan musuh dan menuai nyawa mereka.

Saat solat dhuhur tiba, atas perintah Imam, pengikut beliau bernama Habib bin Madhahir meminta diberi waktu untuk menunaikan solat. Namun dia disambut dengan kekerasan sehingga dia terpaksa menghantamkan pedangnya ke arah beberapa pasukan musuh mengakibatkan sejumlah orang tewas. Dia bertempur dan saat kecapaian dalam bertahan dan menyerang, hantaman pedang musuh lolos dari tangkisannya dan langsung mendarat di bagian kepalanya. Habib terjerembab dari atas kuda. Dalam keadaan lunglai, Habib mencoba bangkit bertahan. Namun, berdirinya Habib segera disusul dengan ayunan pedang Hushain bin Namir yang menghantam kepalanya. Sahabat setia Imam Husain as ini roboh dalam kondisi mengenaskan. Tak puas dengan itu, Hushain datang lagi dan memenggal kepada Habib hingga terpisah dari jasadnya.

Imam Husain as kemudian memerintahkan Zuhair bin Al-Qain dan Said bin Abdullah untuk berbaris di depan Imam Husain bersama separuh pasukan beliau yang masih tersisa untuk mengawal solat beliau bersama separuh pasukan dan pengikut Imam Husain as lainnya, karena pasukan musuh tidak mengizinkan beliau solat.

Kekejaman musuh keluarga Nabi SAWW itu ternyata tak kenal waktu. Said bin Abdullah yang berdiri tepat di depan Imam Husain as menjadi sasaran beberapa anak panah. Tak urung, pria pemberani ini gugur setelah menjadi perisai hidup Imam Husain as. Dia roboh tepat di depan mata junjungannya yang suci itu.

Pembantaian terhadap Said hingga gugur itu tidak dilanjutkan musuh sehingga Imam Husain as melanjutkan solat hingga tuntas. Seusai solat, Imam kembali menyiramkan semangat jihad kepada para pengikutnya.

Para pahlawan Karbala pengikut Imam Husain kemudian terjun ke medan laga dan bahu membahu membela junjungannya dari kebejatan kaum zalim. Selagi tenaga masih tersisa mereka tak membiarkan siapapun untuk menjamah kehormatan cucu Rasul itu. Bahkan para pengikut Imam Husain as dari kalangan non-Bani Hasyim tidak membiarkan seorangpun dari Bani Hasyim yang terjun ke medan laga melawan musuh sebelum mereka sendiri yang maju.



Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer




Perjalanan sejarah telah dipenuhi oleh figur-figur teladan dan tokoh-tokoh besar yang namanya abadi dan tindak-tanduknya layak diteladani. Lembaran hidup mereka mementaskan kepahlawanan, kedermawanan, keramahan, dan kebesaran. Di saat-saat genting sekalipun, kebesaran jiwa mereka tetap menjadi panutan. Kisah tragedi pembantaian keluarga Nabi di Karbala meski menjadi luka yang dalam bagi umat Islam sepanjang sejarah, namun penuh dengan hikmah. Tragedi Karbala adalah pertarungan antara kebenaran dan kebatilan, antara kemanusiaan dan kebinatangan, antara kemuliaan dan kehinaan, antara kebebasan dan keterbelengguan.

* * *

Hurr bin Yazid Al-Riyahi

Di padang tandus Nainawa, figur-figur besar semisal Hurr bin Yazid Al-Riyahi, Habib bin Madhahir, Ali bin Al-Husein, Wahb bin Abdullah dan lainnya mengajarkan kepada umat manusia di sepanjang zaman tentang makna sejati dari kebesaran, keberanian, kepahlawanan, kehormatan, dan kesetiaan. Pada kesempatan kali ini, kami akan membawa Anda ke masa itu, saat lakon-lakon Karbala mementaskan drama kesucian. Kami akan mengajak Anda untuk mencermati fragmen-fragmen yang mereka mainkan.

Hurr bin Yazid Al-Riyahi, komandan pasukan Ubaidillah bin Ziyad. Dengan sekitar seribu orang yang dipimpinnya, Hurr mendapat perintah untuk menghadang gerak Imam Husein dan rombongannya yang sedang menuju Kufah dan menggiring mereka menghadap Ibnu Ziyad. Untuk beberapa hari pertama setelah pasukannya berhadapan dengan rombongan Imam Husein a.s, mungkin Hurr dipandang sebagai orang yang paling berdosa terhadap keluarga Nabi itu. Sebab dengan menjalankan perintah demi perintah yang diterimanya dari Ibnu Ziyah, Hurr telah membuat posisi Imam Husein dan keluarganya terjepit sampai mereka kehabisan air minum.

Namun sikap hormatnya kepada keluarga Rasul dan kebesaran jiwanya telah membuat dia terbangun dari tidur yang hampir membuatnya celaka. Hurr sadar bahwa dia berada di tengah pasukan yang berniat membantai Al-Husein dan keluarganya. Jika tetap bersama pasukan ini berarti dia akan mencatatkan namanya dalam daftar orang-orang terlaknat sepanjang masa. Hurr melihat dirinya berada di persimpangan jalan. Dia harus memilih, mati tercincang-cincang dengan imbalan surga atau selamat dan kembali ke keluarga dengan membawa cela dan janji akan siksa neraka. Hurr memilih surga meski harus melewati pembantaian sadis pasukan Ibnu Ziyad.

Dengan langkah mantap Hurr memacu kudanya ke arah perkemahan Imam Husein a.s. Semua mata memandang mungkinkah Hurr komandan yang pemberani itu akan menjadi orang pertama yang menyerang Imam Husein? Namun semua tercengang kala menyaksikan Hurr bersimbuh di hadapan putra Fatimah dan meminta maaf atas kesalahannya. Sebagai penebus kesalahannya, Hurr bangkit dan dengan gagah berani mencabik-cabik barisan musuh. Hurr gugur sebagai syahid dengan menghadiahkan darahnya untuk Islam. Imam Husein memuji kepahlawanan Hurr dan mengatakan, “Engkau benar-benar orang yang bebas, seperti nama yang diberikan ibumu kepadamu. Engkau bebas di dunia dan akhirat.”



Muslim bin Ausajah

Muslim bin Ausajah termasuk kelompok orang-orang tua yang berada di dalam rombongan Imam Husein. Muslim adalah sahabat Nabi yang keberanian dan kepahlawanannya di berbagai medan perang dipuji banyak orang. Ketika Imam Husein mengumumkan rencananya untuk bangkit melawan pemerintahan Yazid, Muslim bin Ausajah mendapat tugas mengumpulkan dana, membeli senjata, dan mengambil baiat warga Kufah. Di padang Karbala, ketuaan Muslim sama sekali tidak menghalangi kelincahan geraknya. Satu-persatu orang-orang yang berada di hadapannya terjungkal. Akhirnya pasukan Ibnu Ziyad mengambil insiatif untuk menghujaninya dengan batu. Muslim tersungkur bersimbah darah. Sebelum melepas nyawa, dia memandang sahabatnya, Habib bin Madhahir dan berpesan untuk tidak meninggalkan Imam Husein.



Habib bin Madhahir

Di Karbala, Habib bin Madhahir mungkin yang paling tua diantara para sahabat Imam Husein. Meski tua, Habib adalah pecinta sejati Ahlul Bait. Kehadirannya di tengah rombongan keluarga Nabi memberikan semangat tersendiri. Di malam tanggal sepuluh Muharram, atau malam pembantaian, wajah Habib terlihat berseri-seri. Tak jarang dia melempar senyum kepada anggota rombongan yang lain. Ada yang mempertanyakan mengapa dia tersenyum di malam yang mencekam ini? Habib menjawab, “Ini adalah saat yang paling indah dan menyenangkan. Sebab tak lama lagi, kita akan berjumpa yang Tuhan.”

Di bawah terik mentari Karbala, Habib berlaga di tengah medan. Usia lanjut tidak menghalangi kelincahannya memainkan pedang. Habib sempat melantunkan bait-bait syair yang menunjukkan keberanian dan kesetiannya kepada Nabi dan kebenaran risalah Nabi. Jumlah pasukan dan kelengkapan militer yang ada di pihak musuh tidak membuatnya gentar. Sebab baginya, kemenangan bukan hanya kemenangan lahiriyah. Kematian di jalan Allah adalah kemenangan besar yang didambakan para pecinta seperti Habib. Ayunan pedang tepat mengenai kepala putra Madhahir dan membuatnya terjungkal. Darah segar membahasi janggutnya yang putih. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, Habib sempat melempar senyum ke arah Al-Husein yang memberinya kata selamat menjumpai surga. Habib gugur setelah melagakan kepahlawanan dan kesetiaan.



Nafi’ bin Hilal

Nafi’ bin Hilal, adalah pahlawan Karbala yang dikenal sebagai perawi hadis, qari, dan sahabat dekat Imam Ali a.s. Kesetiaannya kepada Ahlul Bait telah ia tunjukkan dalam perang Jamal, Siffin, dan Nahrawan dalam membela Imam Ali a.s., ayah Imam Husain. Di Karbala, bersama Abul Fadhl Abbas dan lima puluh orang sahabat Imam Husein, Nafi’ memporak-porandakan barisan musuh untuk sampai ke sungai Furat. Setelah melalui pertempuran sengit, pasukan Imam Husein berhasil mengambil air dan mengirimnya ke perkemahan. Sahabat setia Al-Husien ini dikenal sebagai pemanah mahir. Setelah berhasil membunuh 12 orang dan melukai beberapa orang lainnya, Nafi’ bin Hilal gugur sebagai syahid.



Burair bin Khudhair

Di tengah pasukan Imam Husein yang hanya berjumlah beberapa puluh orang, terdapat beberapa orang yang dikenal sebagai orang ahli ibadah dan zuhud, diantaranya adalah Burair bin Khudhair. Warga Kufah amat menghormati Burair dan menyebutnya sebagai guru besar Al-Qur’an. Ketinggian iman Burair tampak di malam Asyura. Burair yang biasanya jarang bergurau, malam itu menggoda Abdurrahman Al-Anshari, salah seorang sahabat Imam Husein. Kepadanya Abdurrahman berkata, “Wahai Burair, malam ini tidak sewajarnya engkau bergurau.” Burair menjawab, “Sahabatku, tahukah engkau bahwa sejak muda aku tidak gemar bercanda. Tapi malam ini aku sangat bahagia. Sebab jarak antara kita dan surga hanya beberapa saat. Kita hanya perlu sejenak menari-narikan pedang untuk menyambut pedang-pedang musuh mencabik-cabik tubuh kita, lalu terbang ke surga.” Burair gugur syahid dan namanya abadi. Dia telah mengajarkan kesetiaan kepada agama dan kecintaan kepada Allah, Rasul dan Ahlul Bait.



Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Ayatullah Syeikh Ja’far Subhani lahir pada tanggal 28 Syawal tahun 1347 H. di kota Tabriz. Keluarga beliau terkenal sebagai keluarga alim ulama yang terpandang. Ayah beliau, Almarhum Ayatullah Syeikh Muhammad Husein Subhani Khiyabani adalah salah seorang ulama dan fuqaha Tabriz yang terkenal dengan ketakwaan dan kezuhudan.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Dasar, beliau masuk ke sekolah agama tradisional di bawah pengawasan Almarhum Mirza Mahmud Fadhil, putra Fadhil Muraghi, salah seorang murid Syeikh Anshari. Di sekolah agama yang lazim disebut dengan “Maktab” ini, beliau belajar sastra Persia. Di antara buku-buku yang beliau pelajari di “Maktab” ini adalah Gholestan, Bustan, Tarikh-e Mu’jam, Nishabus Shibyan, Abwabul Jinan dan yang lainnya.
Setelah menginjak usia empat belas tahun, pada tahun 1361 H., Subhani muda masuk ke Madrasah Ilmiah Thalibiyah kota Tabriz untuk menimba dasar-dasar ilmu agama Islam sampai ke tingkat Suthuh.
Ilmu tata bahasa Arab beliau timba dari guru-guru besar seperti Syeikh Hasan Nahwi dan Syeikh Ali Akbar Nahwi. Sebagian dari kitab Muthawwal, Mantiq-e Manzhumah dan Lum’ah beliau pelajari di bawah bimbingan Allamah Mirza Muhammad Ali Mudarris Khiyabani (wafat tahun 1373 H.), penulis kitab Raihanatul Adab. Lima tahun lamanya beliau mempelajari kitab-kitab tersebut.
Kegiatan tulis-menulis beliau mulai sejak usia tujuh belas tahun. Dua kitab pertama yang beliau tulis pada masa itu yang hingga kini masih bisa kita temukan adalah Mi’yarul Fikr yang membahas tentang ilmu logika dan Muhadzdzabul Balaghah mengenai ilmu Ma’ani, Bayan dan Badi’.
Subhani muda masuk ke Hauzah Ilmiah Qom pada tahun 1367 H. dan melanjutkan pendidikan tingkat suthuh hauzah di sana. Bagian akhir dari kitab Fara`idul Ushul beliau baca di bawah bimbingan Ayatullah Mirza Muhammad Mujtahidi Tabrizi (1327-1379 H.) dan Ayatullah Mirza Ahmad Kafi (1318-1412 H.). Kitab Kifayatul Ushul beliau pelajari di bawah asuhan Ayatullah Al-Uzhma Gulpaiqani (wafat tahun 1414 H.).
Setelah menyelesaikan pendidikan tingkat Suthuh pada tahun 1369 H., beliau masuk ke jenjang Bahtsul Kharij ilmu fiqih dan ushul. Pada jenjang ini beliau berguru pada ulama-ulama besar seperti:
1. Ayatullah Al-Uzhma Burujerdi (1292-1380 H.) bab waktu shalat.
2. Ayatullah Sayid Muhammad Hujjat Kuhkamari (1301-1372 H.) bab Bai’.
3. Ayatullah Al-Uzhma Imam Khomeini (1320-1409 H.) bab Istishhab dalan bidang ushul fiqih.
Syeikh Subhani dengan tekun mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Imam Khomeini r.a. sampai beliau untuk pertama kalinya menyelesaikan satu paket penuh ilmu ushul fiqih tingkat tinggi. Seluruh pelajaran yang diberikan oleh Imam Khomeini beliau tulis dan bukukan. Pekerjaan ini beliau selesaikan dalam tempo tujuh tahun untuk selanjutnya dicetak dan diterbitkan.
Selain mempelajari ilmu fiqih dan ushul, beliau juga mendalami ilmu filsafat dan teologi di kota Tabriz di bawah bimbingan Ayatullah Sayid Muhammad Badkubei (wafat tahun 1390 H.) dengan membaca kitab Syarah Qawaidul ‘Aqa`id karangan Allamah Hilli.
Di Hauzah Ilmiah Qom, beliau melanjutkan kajian filsafatnya dengan menghadiri pelajaran logika dan filsafat Ayatullah Allamah Sayid Muhammad Husain Thabathaba`i (wafat tahun 1402 H.). Dan pada tahun 1949-1951, beliau mempelajari kitab Syarah Manzhumah dan sebagian besar kitab Asfar karangan Mulla Sadra di bawah bimbingan guru besar filsafat itu.
Syeikh Subhani mulai mengajar dasar-dasar ilmu agama Islam semenjak masih belajar (tahun 1362 H.). Kegiatan mengajar ini berlanjut saat beliau datang ke kota Qom dan tidak berapa lama kemudian beliau mulai mengajar di tingkat Suthuh.
Beliau telah mengajar kitab Muthawwal selama tujuh tahun, beberapa kali kitab Ma’alim dan Lum’ah secara sempurna, tujuh kali kitab Faraid karya Syeikh Anshari (selama 21 tahun), beberapa kali kitab Makasib dan Kifayah, dan lima kali kitab Syarah Manzhumah.
Pada tahun 1394 H., beliau mulai mengajar ilmu fiqih dan ushul untuk jenjang bahtsul kharij yang berlanjut hingga hari ini.
Selain mengajar ilmu fiqih, ushul dan filsafat secara rutin, beliau juga mengadakan kajian-kajian mengenai teologi, ilmu Rijal, Dirayah, sejarah Islam dan Syi’ah, Milal wa Nihal, tafsir, dan sastra Arab yang menghasilkan banyak karya tulis yang berharga bagi dunia Islam.
Ayatullah Syeikh Ja’far Subhani termasuk salah seorang pencetus berdirinya majalah Maktab-e Islam. Sejak pertama kali diterbitkannya majalah ini, Syeikh Ja’far Subhani meluangkan waktunya untuk memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut masalah agama yang diajukan oleh para pembacanya dari kalangan remaja dan mahasiswa dalam kolom khusus yang disediakan untuk ini.
Beliau mendirikan sebuah yayasan yang diberi nama Muasseseh-e Ta’limati-Tahqiqati-e Imam Ja’far Shadiq a.s. dengan tujuan membangun sebuah perpustakaan khusus bagi para peneliti dan pengkaji ilmu-ilmu Islam. Aktifitas asli dari yayasan ini lama-kelamaan bertambah dengan banyak kegiatan lainnya. Antara lain, dibukanya pusat studi teologi Islam yang dibimbing langsung oleh beliau.
Selain itu, beliau juga merupakan perintis majalah ilmiah Teologi Islam yang merupakan salah satu kegiatan ilmiah besar di dunia majalah.



Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Hari Lahir

Imam Ali Ar-Ridha as. lahir pada 11 Dzul-Qo’dah 148 H di Madinah. Ayah beliau adalah Imam Musa Al-Kazim as., dan ibunya seorang wanita mukmin nan saleh, bernama Najmah. Imam as. menghabiskan masa kanak-kanaknya di sisi sang ayah.

Imam Musa as. berwasiat dan memberi isyarat kepada sahabat-sahabatnya mengenai keimamahan putranya, Ali Ar-Ridha.

Ali bin Yaqthin berkata, “Pernah aku bersama Abdus Saleh (salah satu gelar Imam Musa Kazim, penj.), tiba-tiba datang Ali Ar-Ridha as. lalu beliau (Imam Musa) berkata, “Wahai Ali bin Yaqthin, dialah penghulu anak-anakku”.

Hisyam menambahkan, “Sesungguhnya aku beritakan kepadamu bahwa dia adalah Imam setelahku”.

Demikian pula salah seorang sahabatnya pernah bertanya tentang Imam sepeninggalnya, Imam Musa as. memberi isyarat kepada anaknya Ali Ar-Ridha sambil berkata, “Dialah Imam (pemimpin) setelahku”.

Pada masa itu, situasi amat menguatirkan, sehingga Imam Musa as. berwasiat kepada para sahabatnya agar merahasiakan keimamahan putranya, Ali Ar-Ridha as.



Budi Pekerti Yang Agung

Para Imam Ahlul Bait as. adalah manusia-manusia pilihan. Mereka dipilih oleh Allah swt. untuk membimbing masyarakat secara benar dan menjadi contoh yang paling unggul untuk mencapai derajat kemanusiaan dan akhlak mulia.

Ibrahim bin Abbas mengatakan, “Aku tidak pernah mendengar Abal Hasan Ar-Ridha as. mengatakan sesuatu yang merusak kehormatan seseorang, juga tidak pernah memotong pembicaraan seseorang hingga ia menuntaskannya, dan tidak pernah menolak permintaan seseorang tatkala dia mampu membantunya.

“Beliau tidak pernah menjulurkan kakinya ke tengah majelis. Aku tidak pernah melihatnya meludah, tidak pernah terbahak-bahak ketika tertawa, karena tawanya adalah senyum. Di waktu-waktu senggang, beliau menghamparkan suprah dan duduk bersama para pembantu, mulai dari penjaga pintu sampai pejabat pemerintahan. Dan barang siapa yang mengaku pernah melihat keluhuran budi pekerti seseorang seperti beliau, maka janganlah kau percaya”.

Seorang laki-laki menyertai Imam Ar-Ridha dalam perjalanannya ke Khurasan. Imam mengajaknya duduk dalam sebuah jamuan makan. Beliau mengumpulkan para tuan dan budak untuk menyiapkan makanan dan duduk bersama. Orang itu lalu berkata, ”Wahai putra Rasulullah, apakah engkau mengumpulkan mereka dalam satu jamuan makan?”.

“Sesungguhnya Allah swt. satu, manusia lahir dari satu bapak dan satu ibu, mereka berbeda-beda dalam amal perbuatan”, demikian jawab Imam as.

Salah seorang dari mereka berkata, “Demi Allah, tidak ada yang lebih mulia di muka bumi ini selain engkau, wahai Abal Hasan (panggilan Imam Ar-Ridha)!”.

Imam menjawab, ”Ketakwaanlah yang memuliakan mereka, wahai saudaraku!”.

Salah seorang bersumpah dan berkata, “Demi Allah, engkau adalah sebaik-baik manusia”.

Imam menjawabnya, “Janganlah engkau bersumpah seperti itu, sebab orang yang lebih baik dari aku adalah yang lebih bertakwa kepada Allah. Demi Allah, Dzat yang menorehkan ayat ini, “Kami ciptakan kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa untuk saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu adalah orang yang paling bertakwa”.

Pernah suatu saat, Imam Ali Ar-Ridha as. berbincang-bincang dengan masyarakat. Mereka bertanya tentang masalah-masalah hukum. Tiba-tiba masuk seorang warga Khurasan dan berkata, “Salam atasmu wahai putra Rasulullah, aku adalah seorang pengagummu dan pecinta ayahmu serta para datukmu, aku baru saja kembali dari haji dan aku kehilangan nafkah hidupku, tak satupun tersisa lagi padaku. Jika engkau sudi membantuku sampai di negeriku, sungguh nikmat besar Allah atasku, dan bila aku telah sampai, aku akan menginfakkan jumlah uang yang kau berikan kepadaku atas namamu, karena aku tidak berhak menerima infak”.

Dengan nada lembut, Imam Ar-Ridha as. berkata kepadanya, “Duduklah, semoga Allah mengasihanimu!”.

Kemudian Imam melanjutkan perbincangannya dengan masyarakat sampai mereka bubar. Setelah itu, Imam bangkit dari duduknya dan masuk ke kamar. Tak lama kemudian, beliau mengeluarkan tangannya dari balik pintu sambil berkata, “Mana orang Khurasan itu?”.

Orang Khurasan itu mendekat dan Imam berkata, “Ini dua ratus Dinar, pergunakanlah untuk perjalananmu dan janganlah engkau menafkahkan hartamu atas nama kami”.

Orang Khurasan itu mengambilnya dengan penuh rasa syukur, lalu meninggalkan Imam as.

Setelah itu Imam keluar dari kamar. Salah seorang sahabat bertanya, “Kenapa engkau menyembunyikan wajahmu dari balik pintu wahai putra Rasulullah?”

Imam berkata, “Agar aku tidak melihat kehinaan pada raut wajah orang yang meminta. Tidakkah kau mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Berbuat baik dengan sembunyi-sembunyi akan memenuhi 70 kali haji, dan orang yang terang-terangan dalam berbuat jahat sungguh terhina, dan orang yang sembunyi dalam melakukannya akan diampuni’”.



Jangan Merasa Bangga!

Ahmad Bizanthi adalah salah seorang ulama terkemuka dan seringkali surat menyurat dengan Imam Ali Ar-Ridha. Kemudian, ia mengakui kebenaran kedudukan beliau sebagai imam.

Bizanthi pernah menceritakan pengalamannya berikut ini:

“Imam Ar-Ridha as. memintaku datang menjumpainya dan mengirimkan keledai kepadaku sebagai kendaraan. Sesampainya di sana, kami duduk dalam sebuah pembahasan. Hingga tiba waktu ‘Isya, kami melaksanakan shalat. Seusai shalat, Imam meminta kepadaku untuk bermalam.

Aku menjawab, ”Tidak demi jiwaku yang menjadi tebusanmu, aku tidak membawa mantel (selimut) dan pakaian”.

Beliau berkata kepadaku, ”Allah akan melewatkan malammu dalam keadaaan sehat dan kami akan tidur di atap rumah”.

Sementara Imam turun, aku berkata pada diriku sendiri, ”Sungguh aku telah mendapatkan kemulian dari Imam yang aku tidak temukan pada orang lain, aku telah tertipu oleh setan”.

Di waktu subuh, Imam membangunkanku sambil memegang tanganku. Kepadaku beliau menuturkan, “Suatu hari, Amirul Mukminin Ali as. menengok Sa’sa’ah bin Sauhan yang tengah sakit. Ketika dia hendak bangun, Amirul Mukminin berkata kepadanya, “Wahai Sa’sa’ah, janganlah engkau merasa bangga terhadap saudara-saudaramu hanya karena aku menjengukmu”.

Seakan-akan Imam membaca apa yang terlindas dalam pikiran Bizanthi. Beliau menasehatinya dan mengingatkan kakeknya, Imam Ali bin Ali Thalib as. bagaimana menjenguk salah seorang sahabatnya.



Nasihat untuk Saudara

Zaid adalah saudara Imam Ali Ar-Ridha as. Dia melakukan pemberontakan di kota Basrah dan membakari rumah orang-orang Abbasiyah, sehingga dia digelari dengan Sang Api.

Khalifah Ma’mun segera mengirim pasukan besar dan terjadilah pertempuran sengit. Di sana, Zaid menyerah dan meminta damai. Namun akhirnya ia tertangkap dan dipenjara.

Tatkala Imam Ali Ar-Ridha as. diangkat oleh Ma’mun sebagai pengganti khalifah, Ma’mun memutuskan untuk mengirimkan Zaid kepada Imam. Imam as. sangat marah atas perbuatan saudaranya yang membakar rumah dan merampas harta benda rakyat tanpa hak.

Kepada saudaranya Imam as. berkata, “Duhai Zaid, apa yang membuat engkau tertipu hingga engkau menumpahkan darah dan merampok?! Apakah kau tertipu oleh perkataan orang-orang Kufah, bahwa Fatimah as. telah disucikan rahimnya sehingga Allah mengharamkan anak keturunannya dari api neraka?! Celakalah kau Zaid! Sesungguhnya yang dimaksudkan Rasul saw. dari perkataan itu bukanlah aku, bukan pula kau, akan tetapi Hasan dan Husain.

“Demi Allah, sesungguhnya keselamatan dari api neraka itu tidak akan didapati kecuali ketaatan kepada Allah swt. Apakah kau mengira akan masuk surga dengan tetap bermaksiat kepada Allah?! Kalau begitu, kau lebih besar daripada Allah dan dari ayahmu Musa bin Ja’far as.!”.

Zaid berkata,”Bukankah aku saudaramu?!”.

Imam menjawab, “Ya, kau saudaraku selama kau taat kepada Allah. Bagaimana Nabi Nuh as. memohon, ‘Tuhanku, sesungguhnya anakku dari keluargaku dan janjimu pasti nyata dan engkau maha pengasih’.

“Dan bagaimana Allah membalasnya, ‘Wahai Nuh! Sesungguhnya dia bukanlah dari keluargamu, karena dia bukan perbuatan saleh’.

“Demi Allah wahai Zaid! Tidak seorang pun akan mendapatkan kedudukan di sisi Allah kecuali ketaatan kepada-Nya”.



Di Majelis Ma’mun

Ma’mun mengumpulkan para pemuka agama dan tokoh-tokoh madzhab Islam, lalu memerintahkan mereka untuk berdiskusi dengan Imam Ali Ar-Ridha as. Ma’mun melakukan itu hanya untuk menjatuhkan Imam di hadapan soal-soal mereka.

Imam as. bertanya kepada seorang sahabatnya yang bermanaHassan Naufal, “Apakah engkau tahu mengapa Ma’mun mengumpulkan para pemuka agama dan tokoh madzhab itu?”.

Naufal menjawab, “Dia ingin sekali mengujimu”.

Imam berkata, “Senangkah engkau melihat saat-saat Ma’mun menyesali perbuatannya?”.

“Tentu”, jawab Naufal.

Imam berkata, “Yaitu tatkala dia mendengar jawabanku dari kitab Taurat terhadap penganut Taurat, jawabanku dari kitab Injil tehadap penganut Injil, jawabanku dari kitab Zabur terhadap penganut Zabur, dan jawabanku dari kitab Ibraniyyah terhadap kaum Sabiah”.

Imam Ali Ar-Ridha as. menyiapkan perjalanannya bersama sahabatnya ke istana Khalifah. Setelah sampai dan istirahat sejenak, diskusi pun dimulai.

Jatsliq berkata, “Saya tidak ingin berdiskusi dengan orang yang menggunakan Al-Qur’an sebagai dalilnya, karena aku mengingkarinya, dan juga orang yang menggunakan hadis Nabi Muhammad, karena aku tidak mempercayai kenabiannya”.

Imam Ar-Ridha as. berkata, “Jika aku berdalil dengan kitab Injil, apakah engkau akan beriman?”.

“Tentu, saya akan menerimanya”, begitu tegas Jatsliq.

Lalu Imam Ali Ar-Ridha as. membacakan beberapa ayat Injil yang di dalamnya Nabi Isa as. mengabarkan kedatangan nabi setelahnya, sebagaimana yang juga diberitakan oleh Hawariyyun (sabahat setia Nabi Isa). Imam juga membacakan sebagian ayat dari Injil Yohanes.

Jatsliq dengan penuh keheranan berkata, “Demi kebenaran Isa Al-Masih, aku tidak pernah menyangka bahwa di antara ulama muslim ada orang sepertimu”.

Kemudian Imam Ali Ar-Ridha berpaling kepada pemuka Yahudi dan berdalil dengan ayat-ayat Taurat dan Zabur.

Tak ketinggalan pula, Imran Ash-Shabi yang ahli dalam ilmu Kalam. Dia bertanya kepada Imam tentang keesaan Tuhan dan masalah-masalah Kalam lainnya.

Ketika masuk waktu zuhur, Imam as. bangkit untuk melaksanakan shalat. Setelah itu, beliau melanjutkan diskusi dengan Imran sampai dia mengakui kebenaran agama Allah yang hak. Lalu dia menghadap kiblat dan bersujud kepada Allah untuk menyatakan keislamannya.



Perjalanan ke Moro

Tak seorangpun tahu alasan sebenarnya yang mendorong Khalifah Ma’mun untuk meminta Imam Ali Ar-Ridha as. menjadi penggantinya kelak.

Ketika Imam as. tinggal di Madinah Al- Munawwarah, tiba-tiba datang perintah Khalifah kepada beliau untuk melakukan perjalanan ke Moro.

Imam as. menyiapkan perjalanannya ke Khurasan. Beliau tiba di kota Basrah, lalu bertolak menuju Baghdad, kemudian singgah di kota Qum yang mendapatkan sambutan begitu hangat dari masyarakat di sana. Kala itu, Imam menjadi tamu salah seorang penduduk, dan semenjak hari itu ditetapkanlah hari berdirinya “Madrasah Ar-Ridhawiyyah”.



Di Naisyabur

Naisyabur merupakan salah satu kota tua dan pusat ilmu pengetahuan, lalu runtuh dan hancur ketika penyerangan bangsa Mongol.

Iring-iringan kafilah Imam Ali Ar-Ridha as. dijemput oleh masyarakat di sana dengan penuh suka cita, sementara ratusan ulama dan pelajar berdiri paling depan.

Para ulama dan ahli hadis berkumpul di sekitar para pengiring Imam, sedang di tangan mereka buku dan alat menulis. Mereka menunggu Imam meriwayatkan hadis-hadis dari kakeknya Rasulullah saw., sampai-sampai di antara mereka ada yang memegang tali kekang tunggangan Imam dan berkata, “Demi kebenaran ayahmu yang suci, riwayatkanlah kepada kami hadis sehingga kami dapat mendapatkan ilmu darimu”.

Imam as. berkata, “Aku mendengar ayahku Musa bin Ja’far mengatakan, “Aku mendengar Ayahku Ja’far bin Muhammad mengatakan, “Aku mendengar ayahku Muhammad bin Ali mengatakan, “Aku mendengar ayahku Ali bin Husain mengatakan, “Aku mendengar ayahku Husain bin ‘Ali mengatakan, “Aku mendengar ayahku Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Aku mendengar Jibril berkata, “Aku mendengar Allah berfirman, “Kalimat La Ilaha illallah (tidak ada tuhan selain Allah) adalah bentengku, barangsiapa yang masuk ke dalam bentengku, niscaya ia terbebas dari azabku”.

Hadis ini terkenal dengan Hadis Silsilah Dzahabiyyah (Untaian Emas). Sebanyak dua ribu perawi mencatat hadis ini.

Imam Ali Ar-Ridha as. meninggalkan Neisyabur pada waktu pagi. Di tengah perjalanan masuk waktu zuhur, Imam as. meminta air untuk berwudhu, akan tetapi para pengikutnya sulit mendapatkan air.

Imam menggali tanah. Tiba-tiba muncul mata air. Beliau berwudhu bersama orang-orang yang menyertainya. Hingga sekarang ini, mata air itu masih mengalir.

Imam Ar-Ridha as. dan rombongan tiba di Sina Abad dan beliau menyandarkan punggungnya ke salah satu batu besar di gunung itu. Masyarakat di sana adalah pengrajin kuali dan periuk untuk keperluan masak. Imam memohon kepada Allah untuk memberkahi mereka dan meminta untuk dibuatkan periuk.

Imam as. masuk ke rumah Hamid bin Qahthaba Thaie dan masuk ke qubah yang di dalamnya terdapat kuburan Harun Ar-Rasyid. Di samping kuburan itu, beliau menuliskan sesuatu lalu berkata, ”Ini adalah tanahku, dan di sinilah aku akan dikuburkan, Allah akan menjadikannya tempat ziarah bagi pengikutku. Demi Allah, barangsiapa yang menziarahiku, maka wajib baginya ampunan dan rahmat Allah melalui syafa’at kami Ahlul Bait”.

Kemudian, beliau melakukan shalat dua rakaat dan sujud yang lama sambil bertasbih 500 kali.



Di Moro

Sampailah Imam Ali Ar-Ridha as. di Moro. Ma’mun berusaha menampakkan rasa hormat dengan cara menyambut beliau dan mengadakan pesta penyambutan. Dia mengharapkan Imam supaya sudi menduduki kursi khalifah. Akan tetapi, beliau menolaknya.

Imam Ali Ar-Ridha as. tahu benar akan maksud yang disembunyikan oleh Ma’mun. Dia telah membunuh saudaranya sendiri, Muhammad Amin, lantaran haus kekuasan dan kekhalifahan. Lalu, bagaimana mungkin dia mau turun tahta?!

Ma’mun berusaha menarik simpati masyarakat dengan menampakkan kecintaannya kepada Ahlul Bait. Dia menetapkan kewajiban mentaati Imam sebagai calon penggantinya, walaupun dengan cara-cara paksa.

Di hadapan permintaan Ma’mun yang penuh dengan pemaksaan dan bahkan ancaman, akhirnya Imam Ridha as. menerima untuk dijadikan penggantinya kelak dengan syarat, bahwa Ma’mun tidak ikut campur dalam urusan-urusan pemerintahan.

Segera kepingan-kepingan uang dicetak dengan nama Imam, dan Ma’mun membiarkan masyarakat memakai pakaian hitam sebagai lambang orang-orang Abbasiyah, dan memakai pakaian hijau sebagai lambang orang-orang Alawiyah (keturunan Imam Ali bin Abi Thalib as.).

Lebih dari itu, Ma’mun bahkan menikahkan anak perempuannya dengan Imam Ar-Ridha as. dan menikahkan anak perempuannya yang lain dengan putra beliau, yaitu Muhammad Al-Jawad as.



Shalat Ied

Imam Ali Ar-Ridha as. dibaiat sebagai calon pengganti Khalifah pada 5 Ramadhan 201. Setelah 25 hari, tibalah hari pertama dari bulan Syawal, yaitu Hari Raya Idul Fitri. Satu hari sebelumnya, Ma’mun memerintahkan Imam Ar-Ridha as. untuk menjadi imam Shalat Ied.

Imam merasa keberatan. Tetapi Ma’mun bersikeras pada keputusannya, dan mengirim utusan untuk memata-matai gerak-gerik beliau.

Imam as. menerima dengan satu syarat, yaitu melakukan Shalat Ied sesuai dengan ajaran Rasulullah saw. dan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as.

Ma’mun menyetujui syarat itu dan memerintahkan tentaranya untuk bersiap-siap menjemput Imam esok pagi.

Masyarakat berkerumun di jalan-jalan dan di atap-atap rumah, sementara pasukan berbaris sambil menunggu Imam as. keluar.

Matahari terbit menampakkan garis kemilauan emas dan menyelimuti bumi dengan panas dan cahayanya.

Imam Ali Ar-Ridha as. mandi dan memakai pakaian dan serban putih sambil membiarkan salah satu ujungnya jatuh di depan dadanya dan ujung lainnya di antara kedua bahunya. Beliau memakai wewangian dan memegang tongkat. Beliau memerintahkan orang-orang terdekatnya serta para pembantunya untuk melakukan hal yang sama. Dan, Imam pun keluar bersama mereka tanpa alas kaki.

Beberapa langkah kemudian, Imam Ar-Ridha as. mengangkat suaranya sambil mengumandangkan takbir; Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar. Imam muncul dari dalam rumah, sedangkan pasukan istana serta komandannya melihat Imam dan bersama kelompok besar berjalan di samping kuda-kuda mereka. Mereka pun hanyut dan segera turun dari kuda, lalu melepaskan sepatu-sepatu mereka dan ikut berjalan mengiringi Imam as. dengan kaki telanjang.

Imam bertakbir di pintu gerbang. Masyarakat juga ikut bertakbir sehingga gema takbir membahana ke seluruh penjuru kota. Mereka keluar dari rumahnya masing-masing dan tumpah-ruah ke jalan-jalan.

Berkali-kali masyarakat menghadiri Shalat Ied yang dilaksanakan dengan penuh kemegahan dan kemewahan yang jauh dari dari makna takbir. Kali ini mereka menyaksikan hari raya besar yang penuh dengan semangat Islam yang dibawa oleh Nabi saw. dan kini dihidupkan kembali oleh cucunya, Imam Ali Ar-Ridha as.

Mata-mata yang mengintai pergerakan Imam dan masyarakat, segera melaporkan hasil pengawasannya kepada Ma’mun. Dia malah kuatir terhadap dampak yang akan muncul apabila Imam melanjutkan perjalanannya untuk melaksanakan Shalat Ied dan menyampaikan khutbah.

Ma’mun segera mengutus seseorang untuk menemui Imam Ar-Ridha as. yang masih dalam perjalanan. Kepada beliau, ia menyampaikan pesan secara lisan, “Sungguh kami telah membuatmu kepayahan wahai putra Rasulullah. Kami senang bila Anda istirahat. Untuk itu, kembalilah!”.

Imam as. kembali, sementara masyarakat bertanya-tanya. Sungguh mereka telah terpesona oleh sosok beliau yang mengingatkan mereka akan kerendahan hati ayah dan kakeknya.



Tujuan Ma’mun

Tak seorangpun yang mengingkari kelicikan dan muslihat Ma’mun dalam politik, sebagaimana yang dia lakukan di balik penetapannya atas Imam Ali Ar-Ridha as. sebagai pengganti kekhalifahannya. Tentu, ada maksud-maksud tertentu yang disembunyikan Ma’mun, di di antaranya:

1. Mengharapkan dukungan orang-orang Alawiyah yang ingin membalas dendam kepada pemerintahan Abbasiyah dan bertekad melakukan berbagai pemberontakan dan kerusuhan, yaitu dengan mengangkat Imam as. sebagai penganti kekhalifahannya kelak dan mengganti pakaian hitam dengan pakaian hijau.
2. Merangkul orang-orang Alawiyah dengan cara melibatkan mereka dalam pemerintahan agar masyarakat mengetahui, bahwa pemberontakan yang mereka lakukan hanya karena ingin kekuasaan dan kesenangan, bahwa mereka tidak ingin menegakkan keadilan, tetapi tujuan mereka adalah untuk memperoleh harta kekayaan.
3. Ma’mun berusaha mengumpulkan tokoh-tokoh Alawiyah di ibu kota negara lalu melakukan penangkapan atas mereka, satu persatu, seperti yang terjadi pada Imam Ar-Ridha as.

Tentunya, Imam as. mengetahui seluruh tipu-daya Ma’mun dan berusaha menggagalkannya dalam banyak kesempatan dan sikap beliau, seperti dalam diskusi dengan para pemuka agama, Shalat Ied, dan syarat beliau atas Ma’mun agar tidak ikut campur dalam urusan negara dan politik.



Da’bal Al-Khuza’i

Pada masa itu, syair mendapat perhatian khusus dan penghargaan yang tinggi. Syair juga biasa ditempatkan pada surat-surat kabar untuk menyebarluaskan berita, seruan, ataupun maksud-maksud politik. Penguasa memberi dukungan dan imbalan yang besar untuk mengukuhkan pemerintahan mereka.

Sebagian penyair menolak bujukan pemerintah dan tetap teguh dalam mempertahankan kebenaran, sekalipun dalam keadaan serbakurang dan tertindas, sebagaimana yang dilakukan oleh pujangga Da’bal Al-Khuza’i.

Sejarah mencatat pertemuan Da’bal dengan Imam Ali Ar-Ridha. Abu Shlat Al-Harawi meriwayatkan, “Da’bal menjumpai Imam Ar-Ridha as. di Moro dan berkata, ‘Wahai putra Rasulullah, aku telah membuat syair dan aku berjanji kepada diriku sendiri untuk tidak membacakan kepada seseorang sebelum engkau mendengarkannya’.

Imam as. menyambutnya dan mengucapkan banyak terima kasih lalu mempersilahkan untuk menyenandungkannya. Di antara bait-bait syair Da’bal ialah:

Kediaman-kediaman manusia suci

kini telah sunyi dari pengunjung

Rumah wahyu tidak lagi

dituruni kabar-kabar langit

Pusara di Kufah dan

yang lainnya di Thaibah (Baqi’),

Pula yang di Fakh (Karbala)

senantiasa tercurah salawatku

Dan pusara di Baghdad,

milik jiwa yang suci

Tercurahkan rahmat Sang Pengasih

dalam ruang-ruang kedamaian.

Imam lalu menyambutnya,

Pusara di Thusi betapa besar

Dera nestapa yang menimpanya

Da’bal dengan penuh keheranan bertanya, “Aku tidak pernah tahu, siapakah pemilik pusara itu?”.

“Itulah kuburku wahai Da’bal!,” jawab Imam as.

Sang penyair melanjutkan senandung syairnya yang menyisipkan penderitaan dan musibah yang terus menerus menimpa Ahlul Bait. Imam as. menangis, air matanya berderai menghangatkan pipinya.

Imam memberikan 100 dinar sebagai hadiah kepada Da’bal. Namun, ia merasa berat menerimanya, dan meminta dari beliau sehelai kain untuk mendapatkan berkah darinya. Imam menghadiahkan jubah dari bulu yang ditenun sebagai tambahan dari uang 100 dinar.

Da’bal memohon diri. Dalam perjalanan pulang, ia dan kafilahnya dihadang oleh segerombolan perampok.Seluruh harta benda mereka dirampas. Sambil duduk membagi hasil rampasan, salah seorang perampok melantunkan satu bait puisi:

Aku melihat mereka membagi-bagi harta rampasan.

Di tangan mereka harta rampasan dari emas

Mendengar bait itu, Da’bal bertanya kepada perampok tersebut, “Siapa yang membuat puisi tadi?”

“Ini puisi Da’bal”, jawabnya.

“Akulah Da’bal”, kata Da’bal memperkenalkan diri.

Para perampok itu pun segera mengembalikan harta-harta kafilah yang bersamanya dengan penuh hormat, serta meminta maaf kepada mereka.

Da’bal dan kafilahnya melanjutkan perjalanan sampai di kota Qum. Di sana, sebagian masyarakat berebut ingin menukar baju Imam dengan seribu Dinar, namun Da’bal menolaknya. Di tengah itu, datanglah sekelompok pemuda dari luar kota Qum menginginkan sepotong (secarik) dari pakaian Imam untuk tabarruk dengan imbalan 1000 Dinar. Maka, Da’bal pun merelakannya.

Ketika sampai di rumahnya, Da’bal mendapati istrinya menderita sakit di bagian matanya. Ia memeriksakannya, dari satu tabib ke tabib yang lain. Tapi, mereka semua mengatakan, “Sudah tidak ada gunanya kamu berobat, karena istrimu akan menderita kebutaan”.

Da’bal merasa sedih sekali. Tiba-tiba ia teringat potongan baju Imam, kemudian dia melilitkannya di mata sang istri dari awal malam hingga esok harinya. Tatkala istri Da’bal terjaga, ia tidak merasakan sakit sedikitpun berkat karamah Imam Ali Ar-Ridha as.



Hari Kesyahidan

Setelah Ma’mun merasa jenuh dan putus asa membujuk Imam Ali Ar-Ridha as. dengan kekuasaan, sementara beliau tetap teguh dan bersih dari kepentingan dunia, Ma’mun senantiasa mencari-cari kesempatan untuk membunuh beliau.

Di Baghdad, orang-orang Abbasiyah mengumumkan pembangkangannya. Lalu mereka membaiat orang-orang kaya sebagai khalifah pengganti Ma’mun, karena kuatir akan berpindahnya kekuasaan dan kekhalifahan ke tangan orang-orang Alawiyah.

Untuk menarik simpati mereka di Baghdad dan tetap mengakuinya sebagai khalifah, Ma’mun merencanakan pembunuhan terhadap Imam. Dia bubuhkan racun ganas di sekitar anggur.

Imam as. meninggal karena racun itu dan kembali ke haribaan Allah dalam keadaan syahid dan teraniaya.

Imam Ali Ar-Ridha as. syahid pada tahun 203 H dan dimakamkan di kota Thusi (Masyhad-Iran).

Sementara itu, Ma’mun menampakkan dirinya sedih di hadapan masyarakat dengan tujuan menepis kecurigaan dan tuduhan mereka terhadapnya. Dia pun ikut serta mengantarkan jenazah suci Imam as. dan berjalan tanpa alas kaki sambil menangis. []



Mutiara Hadis Imam Ali Ar-Ridha as.

* “Barang siapa yang tidak berterima kasih kepada orang tuanya, maka dia tidak bersyukur kepada Allah swt.”
* “Barang siapa yang selalu mengawasi dirinya, niscaya akan beruntung, dan barang siapa melalaikannya, pasti akan merugi”.
* “Sebaik-baik akal adalah kesadaran seseorang akan dirinya sendiri”.
* “Bila seorang mukmin marah, maka kemarahannya tidak akan mengeluarkan dirinya dari bersikap benar. Dan jika ia senang, maka kesenangannya tidak akan menghanyutkannya ke dalam kebatilan. Dan jika ia punya kekuatan, ia tidak akan merebut lebih dari haknya”.
* “Sesungguhnya Allah membenci orang-orang yang menceritakan kejelekan orang dan orang yang mendengarkannya serta orang yang banyak bertanya”.

Riwayat Singkat Imam Ali Ar-Ridha as.

Nama : Ali

Gelar : Ridha

Panggilan : Abu Hasan

Ayah : Musa Al-Kazim as.

Ibu : Najmah

Kelahiran : Madinah, 11 Dzul Qo’dah 148 H

Wafat : 203 H

Makam : Thus, Masyhad-Iran



Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer